Dinamika politik memuncak di timur laut Suriah setelah sejumlah suku Arab secara terbuka menyampaikan mosi tidak percaya terhadap Pasukan Demokratik Suriah (SDF), kelompok bersenjata yang didominasi milisi Kurdi dan selama ini didukung penuh oleh koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat. Dalam pernyataan yang disiarkan media Al Hadath, tokoh-tokoh suku menyerukan penghentian segera segala bentuk dukungan politik, logistik, dan militer terhadap SDF, yang dinilai telah menyimpang dari semangat kebersamaan dan keadilan antaretnis di wilayah tersebut.
Mosi ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan antara SDF dan komunitas Arab lokal, khususnya di wilayah Deir ez-Zor yang mayoritas penduduknya berasal dari suku Arab. Para tokoh suku menuding SDF melakukan pelanggaran hak-hak sipil, penangkapan sewenang-wenang, dan diskriminasi dalam alokasi sumber daya serta distribusi kekuasaan. Mereka menyebut bahwa dukungan Barat terhadap SDF justru memperparah ketimpangan sosial dan memperpanjang instabilitas di kawasan.
Mosi ini bukan hal baru, sebelumnya pemerintahan AANES di Timur Suriah di bawah SDF juga mengumumkan mosi tidak percaya pada kabinet transisi pertama Damaskus di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa.
Dalam tayangan berdurasi sekitar 9 menit itu, tampak para pemimpin suku mengibarkan bendera mereka dan mengecam perlakuan SDF terhadap warga Arab. Salah satu perwakilan menyebut bahwa "dukungan asing terhadap SDF telah keluar dari tujuan semula yaitu memerangi ISIS, dan kini berubah menjadi alat dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok lain." Suara-suara ini mewakili kekecewaan mendalam yang telah lama terpendam sejak pembentukan SDF sebagai mitra strategis Amerika dalam percaturan geopolitik di kawasan terutama terkait mempengaruhi kebijakan Damaskus, membendung Iran dan memperkuat posisi Israel di Quneitra dan Dataran Tinggi Golan.
SDF sendiri dibentuk pada tahun 2015 sebagai gabungan milisi Kurdi, Arab, dan etnis lainnya, dengan kekuatan utama berasal dari YPG (Unit Perlindungan Rakyat Kurdi). Namun seiring berjalannya waktu, dominasi Kurdi di tubuh organisasi ini memicu kecemburuan di kalangan Arab. Orang Arab yang mayoritas hanya mendapat kursi yang sedikit di beberapa jabatan penting SDF dan AANES.
Meskipun secara struktural ada perwakilan Arab dalam SDF, banyak pihak menilai mereka hanya simbolik dan tidak memiliki kendali nyata atas keputusan strategis.
Pemerintah Amerika Serikat sejauh ini masih mendukung SDF sebagai kekuatan stabilisator di wilayah timur laut Suriah. Namun mosi dari suku-suku Arab ini menimbulkan dilema baru bagi Washington dan koalisi internasional. Jika diabaikan, risiko fragmentasi sosial akan meningkat. Jika ditanggapi, maka dukungan kepada SDF harus dikaji ulang dan bisa mengubah lanskap keamanan kawasan.
Efek langsung dari mosi ini tampaknya belum menyentuh perubahan kebijakan besar, namun secara politis, mosi ini merupakan sinyal penting bahwa legitimasi SDF di mata sebagian komunitas lokal mulai terkikis. Dalam situasi pascakonflik yang rapuh, legitimasi lokal menjadi kunci untuk menjaga perdamaian jangka panjang dan mencegah munculnya kelompok perlawanan baru yang bisa dieksploitasi oleh kekuatan ekstremis.
Beberapa analis menilai bahwa tekanan dari suku-suku Arab ini berpotensi memaksa SDF untuk mereformasi struktur internalnya, memperbesar peran Arab dalam pengambilan keputusan, serta menjamin keadilan dalam distribusi kekuasaan dan ekonomi. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, ketegangan bisa berkembang menjadi konflik terbuka yang membahayakan stabilitas kawasan.
Perlu dicatat bahwa mosi ini bukan hanya keluhan biasa, melainkan manifestasi dari ketegangan etnis yang telah lama terpendam. Sejumlah laporan independen sebelumnya sudah mengungkap ketimpangan dan penindasan yang dialami komunitas Arab di wilayah yang dikuasai SDF. Dengan adanya sorotan media dan tekanan publik, isu ini kini telah menjadi agenda politik yang tidak bisa lagi diabaikan oleh kekuatan internasional.
Reaksi dari pihak SDF terhadap mosi ini belum disampaikan secara resmi. Namun juru bicara tidak resmi mereka di beberapa media mengatakan bahwa SDF tetap berkomitmen terhadap prinsip multietnis dan menjamin perwakilan semua kelompok dalam struktur kepemimpinan. Meski begitu, narasi ini belum cukup meyakinkan bagi suku-suku Arab yang menuntut perubahan nyata, bukan sekadar pernyataan normatif.
Sementara itu, pemerintah Suriah yang dipimpin Presiden Ahmed Al Sharaa diminta untuk menyerap aspirasi warga untuk mempercepat pembubaran SDF dan mengintegrasikan anggotanya ke Kementerian Pertahanan sebsgaimana yang disepakati Damaskus dan SDF.
Pemerintahan pusat Damaskus didesak untuk memperhatikan kini kondisi suku-suku Arab yang merasa tertindas. Namun banyak pihak di lapangan tetap berhati-hati terhadap pendekatan Damaskus yang selama ini juga mendapat tekanan dari kelompok lain di Suwaida dan Alawit di Latakia sekitarnya.
Dari sisi Turki, mosi ini menjadi semacam pembenaran atas kampanye militer mereka terhadap SDF yang selama ini dianggap sebagai cabang dari kelompok teroris PKK. Ankara kemungkinan besar akan menggunakan mosi ini sebagai bahan diplomasi untuk mendesak AS agar mengakhiri dukungan terhadap SDF dan membuka jalur baru kerja sama dengan komunitas Arab lokal yang anti-Kurdi.
Namun demikian, pengaruh mosi ini dalam skala geopolitik masih bersifat terbatas. Meskipun menunjukkan adanya ketegangan internal, koalisi internasional belum memiliki alternatif kuat selain SDF untuk menjaga stabilitas dan memainkan peran pion dalam peta percaturan geopolitik kawasan.
Tanpa aktor militer terorganisir yang siap menggantikan, AS kemungkinan akan tetap bergantung pada SDF dalam waktu dekat. Meski begitu AS di depan publik menyatakan menghormati integritas wilayah Suriah termasuk Dataran Tinggi Golan yanh dikuasai secara sepihak oleh Israel.
Banyak kalangan menyarankan agar Amerika Serikat mulai melibatkan aktor Arab lokal dalam dialog intensif dan melakukan peninjauan ulang atas model dukungan kepada SDF. Pendekatan ini dapat mencegah ketegangan berkembang menjadi konflik berkepanjangan yang menguntungkan kelompok teroris atau pihak luar yang ingin merusak stabilitas wilayah timur Suriah.
Mosi ini juga membuka ruang baru bagi mediasi internasional, terutama dari PBB atau negara-negara Arab seperti Mesir dan Yordania, yang memiliki hubungan historis dan budaya dengan komunitas Arab Suriah. Jika dikelola dengan baik, mediasi semacam ini dapat menjadi jalan tengah untuk menyatukan kembali komunitas Arab dan Kurdi dalam kerangka politik yang lebih inklusif.
Namun jika diabaikan, mosi ini bisa menjadi cikal bakal perpecahan internal yang memicu konflik baru di Suriah di masa transisi. Ketika rakyat merasa tidak memiliki tempat dalam struktur kekuasaan lokal, celah itu dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor luar atau kekuatan regional yang ingin memperluas pengaruh mereka. Oleh karena itu, mosi tidak percaya ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak yang berkepentingan di Suriah.
Dalam jangka panjang, stabilitas Suriah tidak hanya tergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada kemampuan membangun kepercayaan antara komunitas-komunitas etnis dan suku yang ada. Mosi dari suku-suku Arab ini harus dipahami sebagai panggilan untuk rekonsiliasi, reformasi, dan pembentukan struktur politik yang benar-benar mencerminkan pluralitas rakyat Suriah.
Kesimpulannya, meski belum berdampak langsung secara militer, mosi tidak percaya ini memiliki potensi besar dalam memengaruhi arah politik kawasan, terutama jika berhasil menggalang dukungan luas dari komunitas Arab dan negara-negara regional. SDF dan para pendukungnya kini menghadapi ujian besar: mempertahankan stabilitas sambil merespons tuntutan keadilan dan representasi yang semakin keras terdengar dari bawah.
Status Quo
Muncul spekulasi baru dari sejumlah pengamat kawasan bahwa Damaskus, meski secara retoris keras terhadap SDF, bisa jadi sebenarnya tidak sepenuhnya menginginkan pembubaran kelompok tersebut dalam waktu dekat. Ada analisis yang menyebut bahwa keberadaan SDF sebagai kekuatan militer non-negara justru menciptakan keseimbangan kekuasaan yang sesuai dengan kepentingan jangka pendek pemerintah Suriah. Dengan tidak adanya otoritas tunggal yang benar-benar kuat di wilayah timur laut, Damaskus dapat menghindari tantangan langsung terhadap kontrolnya di pusat dan wilayah barat negara itu.
Sikap ambigu Damaskus terhadap SDF terlihat dari minimnya aksi militer langsung terhadap wilayah yang dikuasai kelompok tersebut, meskipun secara resmi mereka menyatakan bahwa semua wilayah Suriah harus kembali ke kendali pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, ada laporan kolaborasi terbatas antara pasukan SDF dan pasukan pemerintah dalam menghadapi ancaman bersama seperti ancaman dari sisa rejim Bashar Al Assad. Hal ini menandakan bahwa meskipun secara politis berseberangan, secara praktis terdapat hubungan transaksional yang saling menguntungkan.
Damaskus tampaknya juga menyadari bahwa membubarkan SDF secara paksa tanpa adanya alternatif stabil akan menimbulkan gangguan pada kesimbangan kekuatan lokal. Dalam skenario seperti ini, pemerintah Al Sharaa bisa kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kembali kendali wilayah timur karena konflik baru akan mengundang intervensi asing yang lebih dalam, sebagaimana terjadi di Quneitra di luar Dataran Tinggi Golan yang semakin banyak dikuasai Israel.
Dengan tetap membiarkan SDF berdiri sebagai kekuatan dominan di timur laut, Damaskus secara tidak langsung menunda keputusan akhir tentang nasib wilayah tersebut, sambil menunggu dinamika internasional lebih menguntungkan. SDF, meskipun menolak otoritas Damaskus, pada dasarnya tidak secara aktif mengupayakan kemerdekaan seperti entitas Kurdi di Irak. Mereka masih membuka ruang negosiasi, yang dalam jangka panjang bisa menjadi peluang Damaskus untuk mengintegrasikan mereka secara bertahap dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan pemerintah pusat.
Status quo ini memberi Damaskus ruang strategis. Selama SDF masih menjadi fokus utama perhatian Amerika Serikat dan Turki, perhatian internasional terhadap tindakan isu lain di Suwaida dan Golan bisa dialihkan. Pemerintah Suriah dapat berkonsentrasi pada konsolidasi kekuasaan di wilayah yang telah direbut kembali, sambil menjaga ketegangan internal di timur laut berada dalam ambang batas tertentu.
Lebih jauh, jika SDF dibubarkan atau melemah drastis tanpa pengganti yang mampu menjaga stabilitas, maka kekosongan kekuasaan akan berbahaya bagi Damaskus sendiri. Gelombang pengungsian, konflik horizontal, hingga ancaman terorisme akan meningkat, menciptakan tekanan baru di luar kemampuan pemerintah untuk mengelolanya. Dalam hal ini, keberadaan SDF yang relatif stabil bisa dipandang sebagai "penyangga" terhadap potensi kerusuhan yang lebih besar.
Meskipun publik Arab Suriah—termasuk suku-suku yang menyerukan mosi tidak percaya—berharap Damaskus dapat segera mengambil alih wilayah SDF, kenyataannya pemerintah pusat memiliki keterbatasan militer dan ekonomi untuk menjalankan misi semacam itu dalam waktu dekat. Oleh karena itu, tetap membiarkan SDF beroperasi sambil menunggu perubahan sikap dari koalisi internasional bisa menjadi strategi bertahan yang lebih rasional bagi Damaskus.
Spekulasi ini tentu belum bisa dibuktikan secara eksplisit, tetapi tanda-tanda diplomasi pasif Damaskus terhadap wilayah timur laut menguatkan asumsi tersebut. Bahkan dalam berbagai perundingan tidak resmi, delegasi Kurdi yang berafiliasi dengan SDF kadang diterima oleh perwakilan pemerintah, menunjukkan bahwa pintu komunikasi tidak sepenuhnya tertutup.
Jika skenario ini benar, maka mosi dari suku-suku Arab terhadap SDF tidak hanya menguji hubungan antara komunitas lokal dan milisi Kurdi, tetapi juga menguji komitmen Damaskus sendiri terhadap agenda rekonsiliasi nasional. Apakah pemerintah Suriah benar-benar berniat memulihkan kendali atas seluruh wilayahnya, atau justru menikmati keuntungan politik dari status quo yang ambigu?
Pada akhirnya, konflik di timur laut Suriah bukan sekadar konflik antara Arab dan Kurdi, atau antara SDF dan koalisi internasional. Ini adalah bagian dari permainan politik yang lebih besar, di mana semua aktor—baik lokal maupun internasional—mengatur langkah mereka dengan hati-hati, menimbang risiko dan peluang dalam realitas pascaperang yang sangat kompleks


0 Response to "Koalisi Suku Arab di Suriah Umumkan Mosi Tidak Percaya kepada SDF"
Post a Comment