Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Perang Dingin Damaskus: Saat Perebutan Kunci Ibu Kota Suriah

Drama perebutan kekuasaan di Suriah mencapai klimaksnya pada Desember 2024, tidak hanya dengan runtuhnya rezim Bashar al-Assad, tetapi juga dengan persaingan sengit antara faksi-faksi yang baru bangkit untuk mengendalikan ibu kota, Damaskus. 

Peristiwa ini mengungkap bahwa transisi dari puluhan tahun pemerintahan otokratis bukanlah proses tunggal, melainkan sebuah perlombaan berisiko tinggi yang melibatkan ambisi militer, dukungan asing, dan legitimasi rakyat. Di satu sisi, berdiri Ahmad al-Sharaa sebagai pemimpin ofensif Red' al-'Udwān, yang berhasil mematahkan pertahanan rezim dan belakangan menjadi Presiden baru, dan di sisi lain, ada Ahmed al-Audeh, komandan Brigade ke-8, yang mencoba mengatur skema politik di menit-menit akhir.

Al-Audeh, yang didukung oleh Rusia dan beberapa kekuatan Arab, berupaya keras untuk menjadi pihak pertama yang mengkonsolidasikan kekuasaan di Damaskus. Pasukannya, yang merupakan bagian dari Korps Kedelapan, bergerak cepat menuju ibu kota dengan tujuan utama untuk mendahului pasukan pembebasan dari Utara pimpinan Al-Sharaa. 

Tujuan ini bukan hanya sekadar perlombaan teritorial, melainkan upaya untuk memaksakan "aturan baru untuk fase berikutnya," sebuah sinyal jelas adanya agenda politik yang disokong oleh kekuatan eksternal untuk membentuk pemerintahan pasca-Assad melalui negosiasi cepat.

Upaya ini mencapai puncaknya ketika Al-Audeh dan faksi pendukungnya berusaha meyakinkan Perdana Menteri terakhir rezim, Dr. Ghazi al-Jalali, untuk menandatangani perjanjian damai dan penyerahan kekuasaan. Bagi faksi Al-Audeh, mendapatkan tanda tangan PM lama akan memberikan legitimasi yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan baru yang mungkin lebih moderat dan sesuai dengan kepentingan para sponsor internasionalnya, terutama Moskow. Namun, langkah ini gagal total.

PM Al-Jalali, dalam sebuah keputusan yang menentukan arah politik Suriah berikutnya, menolak untuk menyerahkan kekuasaan kepada Al-Audeh. Ia bersikeras bahwa pengunduran diri dan penyerahan otoritas hanya akan diberikan kepada Komandan Operasi Red' al-'Udwān, yaitu Ahmad al-Sharaa. 

Penolakan ini adalah pengakuan tegas terhadap otoritas militer sejati yang berhasil mengalahkan rezim secara total, bukan kepada pihak yang dicurigai mencoba membajak kemenangan militer dengan skema politik yang dirancang di menit-menit terakhir.

Keputusan Al-Jalali memastikan bahwa transisi kekuasaan di Damaskus terjadi sebagai pembebasan militer yang dipimpin oleh faksi Al-Sharaa, mengesampingkan solusi yang dinegosiasikan secara eksternal. Peristiwa ini meresmikan pertemuan penting antara Al-Sharaa dan Al-Jalali di markas besar pemerintah, di mana kekuasaan secara formal diserahkan kepada Pemerintahan Keselamatan yang baru.

Langkah ini, meskipun mengamankan kontrol bagi Al-Sharaa, menyoroti risiko perpecahan serius di antara kelompok oposisi jika upaya Al-Audeh berhasil.

Skenario keberhasilan Al-Audeh hampir pasti akan memicu konflik bersenjata antara kedua faksi, menyeret Suriah ke dalam perang saudara baru pasca-Assad.

Hal ini akan menciptakan pemerintahan yang sangat rentan, terbelah antara faksi yang didukung Rusia/Arab di selatan dan otoritas revolusioner di utara.

Peran Al-Audeh sendiri, yang pasukannya bergerak sebagai bagian dari usaha gabungan faksi selatan, tetap menjadi subjek perdebatan sejarah, antara penyerbuan awal yang heroik atau upaya politik yang didukung asing. Meskipun keberadaan dan kekuatan militer spesifik pasukannya (Brigade ke-8) tidak secara eksplisit diukur dalam konteks tersebut, keterlibatan mereka di vitalitas strategis Damaskus menunjukkan bahwa mereka adalah kekuatan signifikan yang didukung oleh sumber daya eksternal.

Setelah kegagalan tersebut, nasib Al-Audeh dan pasukannya berangsur-angsur meredup. Seiring upaya pemerintah baru Suriah untuk menyatukan semua kelompok bersenjata di bawah satu Kementerian Pertahanan, tekanan terhadap faksi-faksi semi-otonom seperti Brigade ke-8 meningkat tajam. Pada April 2025, hanya beberapa bulan setelah keruntuhan rezim Assad, Brigade ke-8 yang pernah beroperasi semi-otonom di basisnya di Busra al-Sham, secara resmi mengumumkan pembubaran diri.

Juru bicara mereka menyatakan bahwa keputusan itu diambil demi memperkuat persatuan nasional dan menjaga stabilitas negara yang baru. Semua perlengkapan militer dan personel pun diserahkan kepada Kementerian Pertahanan, menandai berakhirnya pengaruh politik dan militer Ahmed al-Audeh sebagai kekuatan independen di selatan Suriah.

Meskipun pasukannya telah dibubarkan dan diintegrasikan, lokasi tepat Al-Audeh sendiri tetap tidak diketahui secara publik. Pembubaran ini menegaskan bahwa faksi yang didukung asing dan berupaya menengahi transisi politik tidak memiliki pijakan yang cukup kuat di hadapan otoritas baru yang berasal dari kemenangan militer murni.

Akhir kisah Brigade ke-8 dan upaya Al-Audeh mencerminkan kesulitan dalam membangun otoritas tunggal setelah keruntuhan rezim yang berkepanjangan. Insiden "Perang Dingin Damaskus" ini akan selalu dikenang sebagai momen krusial di mana PM terakhir harus memilih antara solusi politik yang didukung oleh kekuatan lama atau pengakuan terhadap legitimasi pemimpin militer yang baru, sebuah pilihan yang pada akhirnya membentuk lanskap politik Suriah pasca-Assad.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perang Dingin Damaskus: Saat Perebutan Kunci Ibu Kota Suriah"

Post a Comment