Aliran minyak dari timur laut Suriah kembali menjadi sorotan setelah pemerintahan AANES yang dipimpin SDF Suriah meningkatkan ekspor minyak ke Kurdistan Irak secara signifikan dalam dua bulan terakhir. Lonjakan ini terjadi seiring keputusan Damaskus menghentikan pembelian minyak murah dari SDF, sebuah langkah yang memicu perubahan peta ekonomi dan politik di kawasan. Meski volume penjualan relatif kecil, para analis menilai dampaknya berpotensi besar terhadap keseimbangan kekuatan antara Damaskus, Riyadh, dan kelompok Kurdi.
Keputusan pemerintah Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa menghentikan pembelian minyak negara dari AANES pada November disebut sebagai upaya menekan posisi tawar Kurdi dalam pembicaraan politik. Selama bertahun-tahun, Damaskus terpaksa harus membeli minyak sendiri dari wilayah yang dikuasai SDF dukungan AS dkk, meski transaksi tersebut tidak pernah diakui secara resmi. Namun situasi berubah ketika Arab Saudi disebut mulai menopang kebutuhan energi Suriah, memungkinkan Damaskus menekan SDF dengan memutus salah satu sumber pemasukan utamanya. 'APBN' wilayah AANES dua kali lipat dari Damaskus dengan penduduk lebih sedikit.
Di saat yang sama, SDF bergerak cepat mengalihkan minyak mereka ke wilayah Kurdistan Irak. Data internal yang beredar menunjukkan ekspor melonjak dari sekitar tujuh ribu barel per hari pada Agustus menjadi hampir dua puluh ribu barel per hari pada Desember. Harga yang ditawarkan tetap jauh di bawah harga pasar global, berkisar tiga puluh dolar per barel, sebuah tarif yang membuat minyak SDF sangat menarik bagi para pengelola kilang di KRI.
Lonjakan ekspor ini menghidupkan kembali jaringan distribusi minyak yang sebagian dibangun pada masa Saddam Hussein, terutama oleh Uday Hussein, untuk menghindari embargo internasional pada akhir 1990-an. Jaringan pipa, penyimpanan, dan rute perdagangan yang dulu digunakan Irak kini menjadi jalur ekonomi utama bagi pemerintahan Kurdi Suriah yang belum diakui secara internasional. Banyak aktor di kawasan mengetahui bahwa jalur ini secara teknis ilegal, tetapi toleransi de-facto membuat praktik itu terus berlangsung.
Di Kurdistan Irak, minyak dari wilayah SDF disebut mengalir ke beberapa kilang besar yang beroperasi di bawah perusahaan energi lokal. Sejumlah kilang yang memiliki hubungan lama dengan jaringan perdagangan era Saddam kini kembali memproses minyak dari Suriah timur. Situasi ini menempatkan KRI dalam posisi strategis, karena menjadi titik temu antara kebutuhan ekonomi SDF dan celah hukum yang tidak sepenuhnya bisa ditekan Baghdad ataupun Damaskus.
Hingga saat ini, pemerintah Irak secara resmi menyatakan semua impor minyak dari Suriah tanpa izin pusat adalah ilegal. Namun pemerintah daerah Kurdistan menilai kondisi di lapangan berbeda dan menempatkan perdagangan tersebut dalam kategori transaksi energi darurat. KRG sering berdalih bahwa mereka membutuhkan suplai tambahan untuk menjaga stabilitas kilang domestik yang menghadapi kekurangan pasokan akibat ketegangan antara Erbil dan Baghdad.
Sementara itu, pemerintahan AANES mengandalkan penjualan minyak untuk membiayai administrasi sipil, layanan publik, dan sebagian biaya operasional pasukan keamanan. Dengan minimnya pengakuan internasional, minyak menjadi sumber pendapatan utama yang memungkinkan struktur pemerintahan lokal tetap bertahan. Bagi SDF, menutup keran ekspor berarti memperlemah kemampuan mereka untuk menentang otoritas Damaskus dan mengimbangi kekuatan Turkiye atas pesanan hegemoni AS dkk.
Keberadaan pasukan Amerika Serikat di wilayah tersebut ikut memengaruhi dinamika perdagangan minyak. AS secara resmi melarang ekspor minyak Suriah oleh entitas non-negara, tetapi di lapangan Washington fokus pada agenda lain mengontrol politik regional. Kebijakan ambivalen ini menciptakan ruang abu-abu yang memungkinkan ekspor tetap berlangsung tanpa tindakan nyata dari Amerika.
Damaskus, meski secara hukum mengklaim kepemilikan penuh atas seluruh minyak nasional, terbatas dalam kemampuannya merebut kembali ladang-ladang minyak yang dikuasai SDF sejak 2016. Jarak geografis, kehadiran pasukan AS, dan fokus Suriah yang baru terhadap front militer lain membuat pemerintah Damaskus tak mampu mengatur rute perdagangan yang masuk ke wilayah Irak. Kebuntuan ini membuat ekonomi minyak gelap berkembang tanpa hambatan berarti.
Paralel dengan itu, keputusan Riyadh membantu memenuhi kebutuhan energi Suriah memunculkan dimensi baru hubungan Arab–Suriah. Dukungan energi dianggap sebagai bagian dari normalisasi hubungan politik yang mulai tumbuh sejak Suriah kembali ke Liga Arab. Dengan pasokan dari luar, Damaskus merasa lebih leluasa mengurangi ketergantungan dengan minyak domestik yang dikuasai SDF, yang selama ini dianggap membangkang.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana energi kembali menjadi alat tawar dalam konflik Suriah. Sementara pasokan minyak bagi Damaskus lebih stabil berkat jaringan baru yang difasilitasi Arab Saudi, SDF justru mencari ruang memperkuat hubungan antar Kurdi melalui hubungan ekonomi yang lebih erat dengan KRI Irak. Kedua pihak memanfaatkan celah-celah geopolitik yang ada untuk menjaga struktur kekuasaan masing-masing.
Di lapangan, para sopir truk minyak menghadapi risiko tinggi karena jalur Suriah timur–Irak dipenuhi pos pemeriksaan, milisi lokal, dan campur tangan berbagai kelompok bersenjata. Namun keuntungan besar dari perdagangan minyak murah membuat ratusan truk tetap melintasi rute tersebut setiap hari. Para perantara lokal menjadi pihak yang paling diuntungkan, menciptakan ekonomi bayangan yang tumbuh di wilayah sengketa.
Bagi KRG, keterlibatan dalam perdagangan minyak SDF memiliki konsekuensi politik yang tidak kecil. Baghdad dapat menuding Erbil melanggar kewenangan pusat dan memperkeruh sengketa lama mengenai pengelolaan sumber daya alam Irak. Namun pemimpin KRG berkali-kali menyatakan bahwa pasokan minyak dari Suriah merupakan kebutuhan sementara untuk stabilitas kilang dan konsumsi domestik.
Di sisi lain, hubungan ekonomi antara AANES dan KRG berpotensi memperkuat solidaritas politik Kurdi lintas batas. Meski kedua pihak memiliki perbedaan ideologi dan afiliasi internasional, kepentingan energi membuat mereka saling bergantung. Ketergantungan ini dapat memengaruhi dinamika politik Irak dan Suriah dalam jangka panjang, terutama jika konflik di Suriah tidak menunjukkan tanda penyelesaian.
Pengamat energi regional menilai bahwa setiap perubahan aliran minyak di Jazira Suriah memiliki implikasi lebih besar daripada nilai ekonominya. Menurut mereka, minyak dari ladang-ladang kecil itu kerap menjadi pemicu perubahan posisi tawar antara kekuatan regional, termasuk Turki, Iran, dan negara-negara Teluk yang memiliki kepentingan berbeda di Suriah. Hal ini menjadikan perdagangan minyak SDF bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi bagian dari permainan geopolitik yang rumit.
Beberapa analis memperingatkan bahwa ketergantungan berlebihan pada perdagangan minyak ilegal dapat melemahkan posisi AANES di masa depan. Jika situasi politik berubah atau tekanan internasional meningkat, SDF bisa kehilangan sumber pendapatan utama dalam waktu singkat. Namun hingga kini, tidak ada tanda-tanda bahwa negara-negara sekitar akan mengambil tindakan tegas untuk menghentikan jalur perdagangan tersebut.
Di tingkat lokal, warga di wilayah AANES masih cemas terhadap potensi pengetatan ekonomi akibat keputusan Damaskus menghentikan pembelian minyak. Para pegawai pemerintahan, tenaga kesehatan, dan pekerja sipil lainnya berharap bahwa peningkatan ekspor ke KRI dapat menutup kekurangan pendapatan. Namun ketergantungan pada jalur ilegal membuat stabilitas ekonomi tetap rapuh.
Situasi semakin kompleks karena berbagai milisi yang beroperasi di sepanjang perbatasan memungut biaya, pajak, dan pungutan liar dari truk minyak. Sistem pungutan tidak resmi ini menciptakan rantai ekonomi gelap yang sulit diawasi bahkan oleh otoritas lokal. Selama kondisi keamanan tetap seperti sekarang, jalur minyak Suriah timur diperkirakan akan tetap menjadi salah satu rute perdagangan paling dinamis sekaligus paling tidak transparan di kawasan.
Meski seluruh pihak memahami bahwa perdagangan minyak ini tidak memiliki dasar legal internasional, kepentingan ekonomi membuatnya berlangsung terbuka. Tidak ada negara, termasuk Irak dan Suriah, yang sepenuhnya mampu menegakkan hukum di wilayah tersebut. Akibatnya, jaringan pipa warisan Saddam Hussein yang dulu digunakan untuk menyiasati sanksi internasional kini kembali berperan sebagai tulang punggung ekonomi bagi kelompok Kurdi Suriah yang terus berjuang mempertahankan otonomi de-facto mereka.
Dengan ketegangan politik yang terus berlangsung, aliran minyak dari ladang-ladang gurun kemungkinan akan tetap menjadi simbol rapuhnya stabilitas di Suriah utara. Selama tidak ada solusi politik yang menyeluruh, minyak murah yang diperdagangkan melalui jalur bayangan itu akan terus menjadi alat bertahan bagi satu pihak dan senjata tekanan bagi pihak lainnya. Situasi ini menunjukkan bahwa di Timur Tengah, bahkan aliran minyak dalam jumlah kecil pun dapat menggerakkan dinamika geopolitik berskala besar.


0 Response to "Pipa Warisan Saddam Difungsikan Kembali Ekspor Minyak Suriah ke Irak"
Post a Comment