Konflik yang kembali mencuat di Hadhramaut antara Dewan Transisi Selatan (STC) dan koalisi suku lokal Hadhramaut Tribal Alliance (HTA) bukanlah sekadar gesekan bersenjata di tengah kekacauan politik Yaman modern. Pertarungan ini memiliki akar sejarah panjang yang berawal jauh sebelum negeri itu bersatu, bahkan sebelum Republik Demokratik Rakyat Yaman berdiri pada 1967. Di balik operasi yang diumumkan STC, serangan terukur terhadap wilayah Wadi Hadhramaut, serta diamnya pemerintah pusat, tersimpan perdebatan identitas yang telah berlangsung lebih dari enam dekade.
Pengambilalihan Wadi Hadhramaut oleh STC, yang mereka sebut sebagai keberhasilan operasi “Masa Depan Menjanjikan”, bukan hanya pergeseran kekuasaan taktis. Penguasaan atas Istana Republik, Bandara Seiyun, dan fasilitas pemerintahan lainnya menandai usaha STC memperluas kontrolnya dari wilayah pesisir hingga ke pedalaman yang selama ini menjadi basis kekuatan suku-suku Hadhramaut. Meskipun STC menggambarkan operasi itu sebagai revolusi administratif, bagi banyak warga lokal langkah ini menghidupkan kembali kenangan dominasi dari luar wilayah mereka.
STC selama beberapa tahun terakhir berupaya memposisikan diri sebagai representasi sah entitas politik “Yaman Selatan”, mewarisi kerangka negara lama yang pernah berpusat di Aden. Namun, bagi komunitas Hadhramaut, proyek STC tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan identitas mereka. Wilayah itu memiliki sejarah panjang sebagai konfederasi kesultanan dan suku yang menjalankan otonomi tersendiri saat Inggris masih menguasai bagian selatan Jazirah Arab. Hadhramaut bukan sekadar distrik selatan, melainkan entitas sosial-budaya dengan struktur politik unik yang berbeda dari Aden.
Benturan identitas inilah yang menjadikan konflik STC–HTA lebih kompleks ketimbang sekadar perebutan wilayah. Di Wadi Hadhramaut, pasukan Daerah Militer Pertama yang nominalnya di bawah pemerintah pusat hanya melakukan perlawanan singkat sebelum mundur, namun ketegangan yang tersisa menunjukkan adanya penolakan lokal terhadap hadirnya kekuatan dari luar. Banyak warga masih memandang Hadhramaut sebagai wilayah yang harus diperintah oleh hadhrami sendiri, bukan oleh struktur milisi yang berbasis di Aden.
Sementara itu, HTA tampil sebagai organisasi yang mengklaim sebagai wadah representasi suku-suku Hadhramaut. Koalisi ini menolak secara terbuka agenda politik STC dan menekankan perlunya kedaulatan lokal atas keamanan, administrasi, hingga pengelolaan sumber daya alam. Dalam beberapa kesempatan, mereka mengingatkan bahwa Hadhramaut bukan bagian organik dari negara adenias pada era Inggris. Mereka menggarisbawahi bahwa kesultanan Quaiti dan Kathiri pernah berdiri sebagai struktur pemerintahan penuh sebelum dibubarkan pada masa pembentukan Yaman Selatan.
Pemerintah pusat Yaman yang dipimpin Dewan Kepemimpinan Presiden terlihat mengambil posisi diam sepanjang eskalasi berlangsung. Tidak ada pernyataan tegas menghentikan operasi STC maupun membela keberadaan struktur negara di Hadhramaut. Pengamat menilai diamnya pemerintah berasal dari lemahnya posisi mereka sendiri di tengah medan politik yang telah terfragmentasi sejak pecahnya perang saudara delapan tahun lalu. Banyak faksi militer kini tidak benar-benar berada di bawah kendali penuh pemerintah, melainkan didorong oleh agenda aktor eksternal.
Keberadaan pengaruh regional semakin memperumit hubungan STC dan HTA. Sementara STC dikenal dekat dengan Uni Emirat Arab, yang membentuk sebagian besar pasukan elite di Aden dan sekitarnya, HTA disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Arab Saudi. Riyadh telah menunjukkan ketertarikannya mempertahankan stabilitas Hadhramaut melalui dukungan ekonomi dan politik terhadap kelompok lokal yang menolak proyek separatis STC. Ketegangan antara dua kekuatan Teluk itu membuat Hadhramaut menjadi arena kompetisi pengaruh yang terus bergerak.
Namun, dukungan Saudi terhadap HTA bukan berarti koalisi suku itu sepenuhnya dikendalikan oleh Riyadh. Dalam berbagai pernyataan, tokoh-tokoh HTA menegaskan bahwa tujuan utama mereka adalah memastikan wilayah Hadhramaut tidak kembali dikuasai oleh pihak manapun, baik Aden, Sana’a, maupun aktor regional. Mereka hanya ingin mengembalikan sistem otonomi lokal yang sudah tertanam sejak masa kesultanan, sebuah gagasan yang bertolak belakang dari ambisi STC membangun negara selatan bersatu.
Sejumlah analis menilai bahwa konflik antara STC dan HTA merupakan reproduksi modern dari polarisasi lama: Aden dan wilayah sekitarnya yang lebih urban dan terpusat, berhadapan dengan Hadhramaut yang berbasis suku dan konfederasi. Saat republik sosialis Yaman Selatan berdiri pada 1967, struktur suku di Hadhramaut dibubarkan dan tanah-tanah bangsawan disita. Bagi banyak keluarga besar hadhrami, periode itu dianggap sebagai masa di mana identitas mereka ditekan oleh negara baru yang berpusat di Aden.
Laporan lapangan juga menunjukkan dinamika unik: meskipun STC telah menguasai pusat pemerintahan Wadi Hadhramaut, sebagian wilayah penghasil minyak, terutama area PetroMasila, masih berada di bawah pengawasan aliansi suku lokal. Situasi ini menunjukkan bahwa pengaruh STC masih belum sepenuhnya mengakar di wilayah tersebut. Penguasaan administratif belum tentu bermakna penguasaan sosial, terutama di provinsi yang struktur sukunya masih kuat.
Ketegangan yang timbul bukan hanya soal politik atau ekonomi, tetapi juga menyangkut rasa keberlanjutan identitas. Bagi suku-suku Hadhramaut, dominasi STC dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan tradisi lama yang melandasi hubungan antar-suku, pengelolaan tanah, serta konsep pemerintahan lokal. Sedangkan bagi STC, keberhasilan memperluas pengaruh ke Hadhramaut diperlukan untuk menghidupkan kembali ide negara Yaman Selatan yang utuh, sebagaimana pernah berdiri pada era Perang Dingin.
Pemerintah pusat, yang seharusnya menjadi penengah, justru kehilangan momentum untuk meredam konflik. Ketidakmampuan mereka untuk menegakkan otoritas membuat daerah-daerah seperti Hadhramaut menjadi ruang kosong yang kemudian diisi oleh milisi, suku, atau aktor luar. Delegasi Saudi yang dikirim ke Seiyun untuk bertemu gubernur hanya menambah kesan bahwa urusan keamanan provinsi itu lebih banyak ditentukan oleh Riyadh dan Abu Dhabi ketimbang Sana’a atau Aden.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran baru bagi masyarakat sipil setempat yang cemas akan masa depan wilayah mereka. Hadhramaut selama puluhan tahun dikenal sebagai kawasan paling stabil di Yaman, tetapi masuknya aktor milisi memperbesar potensi konflik laten antar-suku yang sebelumnya diredam oleh struktur tradisional. Warga khawatir bahwa perebutan pengaruh antara STC, HTA, dan kekuatan regional dapat menghancurkan harmoni sosial yang sudah lama dijaga.
Meski demikian, sejumlah pengamat berpendapat bahwa situasi tidak serta-merta akan berubah menjadi bentrokan besar. Struktur suku di Hadhramaut cenderung menghindari pertempuran terbuka kecuali menyangkut kehormatan atau kedaulatan wilayah. Mereka lebih memilih tekanan politik, boikot administrasi, atau penguasaan infrastruktur strategis seperti ladang minyak untuk menyampaikan tuntutan. Pola ini membuat konflik bergerak secara perlahan namun berkelanjutan.
Akar sejarah konflik membuat penyelesaiannya semakin rumit. Selama identitas politik Hadhramaut dan Aden tidak menemukan titik temu, ketegangan antara STC dan HTA kemungkinan akan terus berlangsung meski tidak selalu dalam bentuk kontak senjata. Upaya pemerintah pusat untuk meredakan konflik juga menghadapi tantangan berat karena struktur kekuasaan yang terpecah dan keberadaan berbagai aktor eksternal.
Situasi Hadhramaut saat ini menjadi salah satu gambaran betapa sulitnya membangun negara Yaman yang stabil. Sementara STC ingin menghidupkan kembali negara Yaman Selatan versi Aden, HTA menuntut dihidupkannya kembali konsep otonomi hadhrami yang pernah eksis sebelum 1967. Dua visi masa depan itu bertabrakan, sama-sama berakar pada sejarah panjang wilayah selatan Yaman, dan sama-sama ingin mengklaim legitimasi.
Dalam konteks lebih luas, konflik ini menunjukkan bagaimana ingatan sejarah masih menjadi faktor penentu politik Timur Tengah. Struktur suku, warisan kolonial, hingga model negara era Perang Dingin semuanya muncul kembali dalam bentuk baru. Hadhramaut kini bukan sekadar wilayah yang diperebutkan, tetapi cermin dari pertarungan antara modernitas politik Aden dan tradisi otonomi suku di pedalaman.
Selama STC tetap berambisi memperluas kontrol dan HTA bersikeras mempertahankan identitasnya, Hadhramaut akan tetap menjadi titik panas yang terus bergerak. Stabilitas yang pernah menjadi kebanggaan wilayah itu kini terancam oleh tarik menarik kepentingan yang saling bertumpukan. Masa depan provinsi tersebut, setidaknya untuk sementara, tergantung pada kemampuan para aktor lokal dan regional menemukan kompromi yang sulit tetapi sangat diperlukan.
Hingga kini, tanda-tanda kompromi itu belum terlihat jelas. Baik STC maupun HTA sama-sama mempertahankan posisinya, dan pemerintah pusat masih belum menunjukkan arah politik yang tegas. Yang tersisa bagi warga Hadhramaut adalah harapan bahwa wilayah mereka tidak kembali menjadi saksi pertarungan panjang yang pernah melanda selatan Yaman lebih dari setengah abad lalu.


0 Response to "Jejak Lama di Balik Konflik Hadhramaut, Yaman"
Post a Comment