Sekitar tahun 1520, seorang tokoh penting dari Barus bernama Sultan Ibrahim melakukan perjalanan spiritual dan politik ke wilayah Toba, khususnya ke lembah subur Bakkara, yang kelak menjadi pusat kerajaan Sisingamangaraja. Kedatangannya tidak hanya membawa ajaran Islam, tetapi juga menjalin hubungan diplomatik dengan para raja lokal. Dalam perjalanannya itu, sebagaimana dihimpun dari dokumen lama oleh sejarawan Ridwan Selian Te di akun Facebooknya, Sultan Ibrahim menikahi seorang putri bangsawan bermarga Pasaribu, yang kemudian masuk Islam dan menjadi pendampingnya. Peristiwa ini menjadi tonggak awal kehadiran Islam di kawasan Toba yang didominasi kepercayaan lokal.
Sultan Ibrahim dan rombongannya membangun sebuah masjid di kampung Bakara sebagai tempat ibadah dan penyebaran ajaran Islam. Masjid tersebut menjadi simbol awal dari percampuran budaya lokal dengan nilai-nilai Islam yang diperkenalkan dari pesisir barat Sumatra. Keberadaan masjid ini, yang kemudian dikenal sebagai "pasogit" atau masogit/masojid dalam lahjah lokal bermakna masjid, memiliki posisi penting dalam perkembangan spiritual masyarakat sekitar.
Sekitar tahun 1600, pasogit atau bale masjid ini berkembang menjadi tempat ibadah utama yang turut digunakan oleh raja-raja lokal, termasuk leluhur Sisingamangaraja. Bale ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat sembahyang, namun juga sebagai ruang musyawarah dan pengambilan keputusan penting kerajaan. Fungsi ganda ini menunjukkan kuatnya keterkaitan antara spiritualitas dan kepemimpinan tradisional Batak pada masa itu.
Pada awal abad ke-19, sekitar tahun 1820, bale pasogit tetap berdiri dan masih dijadikan tempat ibadah oleh keturunan Sisingamangaraja. Hal ini menunjukkan kesinambungan tradisi dan penghormatan terhadap warisan leluhur Islam. Sisingamangaraja sebagai pemimpin spiritual dan politik memegang nilai-nilai luhur yang diilhami usai diangkat sebagai 'Khalifah Batak' oleh Sultan Aceh sebagaimana dinukil oleh Hikayat Meukuta Alam (tersedia onlin), termasuk ajaran Islam yang diwariskan dari masa Sultan Ibrahim dari Dinasti Jamalul Alam Kesultanan Inderapura, Minangkabau/Pagaruyung, Sumatera Barat.
Menjelang pertengahan abad ke-19, sekitar tahun 1850, istilah “Djoro” atau terilhami dari istilah “Suro” atau "Surau" dari Minangkabau mulai dikenal sebagai nama tempat ibadah di wilayah Bakkara yang berkaitan langsung dengan keberadaan Sisingamangaraja. Nama ini mencerminkan peralihan istilah lokal terhadap bangunan ibadah yang memiliki makna spiritual mendalam bagi masyarakat. Djoro menjadi tempat ritual dan pemusatan kekuatan spiritual pemimpin.
Keberadaan Djoro atau Suro sebagai tempat ibadah membuktikan bahwa para Sisingamangaraja tidak hanya mengandalkan kekuatan politik, tetapi juga merawat kekuatan spiritual yang terjalin dengan ajaran yang lebih luas. Djoro menjadi tempat hening dan kontemplasi, tempat pemimpin mengambil keputusan dalam suasana batin yang tenang.
Masjid yang dibangun sejak masa Sultan Ibrahim tidak lagi hanya milik satu generasi, namun telah menjadi bagian dari narasi besar masyarakat Batak Toba. Masjid ini menjadi saksi bisu dari gelombang perubahan yang terjadi selama ratusan tahun, dari masuknya Islam hingga peran masjid dalam menjaga harmoni antarkelompok.
Di tengah dominasi penjajah Belanda dan pengaruh Kristen yang datang kemudian, jejak Islam di Bakkara tetap hidup dalam bentuk arsitektur, istilah lokal, dan memori kolektif masyarakat. Masjid Suro atau Djoro menjadi pengingat bahwa kekuatan agama Islam telah lama hadir di Tanah Batak.
Bukan hal mengejutkan jika banyak orang dari Barus hingga Mandailing mengingat Bakkara sebagai salah satu titik temu antara Islam dan budaya Batak. Peristiwa pernikahan Sultan Ibrahim dengan putri Pasaribu menjadi simbol integrasi lintas budaya yang damai, sebuah narasi yang jarang disorot dalam sejarah arus utama.
Hingga kini, narasi keberadaan masjid di Bakkara terus hidup melalui cerita lisan, penelitian sejarah, dan upaya pelestarian situs. Data yang dikumpulkan Ridwan Selian pada 2024 menegaskan bahwa jejak Islam di Bakkara tidak dapat dipisahkan dari perjalanan Sisingamangaraja dan nilai-nilai spiritual yang ia bawa sebagai Khalifah Batak yang dulu wilayahnya pengaruhnya termasuk pedalaman Tanah Karo.
Beberapa masyarakat tua di sekitar Bakkara masih menyebut masjid tua itu sebagai "pasogit," istilah yang mengandung makna mendalam sebagai tempat asal, tempat pulang, dan tempat suci. Ini membuktikan bahwa tempat ibadah bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga pusat kehidupan spiritual yang berakar dalam kebudayaan lokal.
Dalam beberapa catatan kolonial Belanda, disebutkan adanya tempat ibadah di Bakkara ini; Djoro atau Suro, yang sejak lama menjadi pusat kekuatan spiritual masyarakat dan pemimpin Batak.
Para peneliti menilai, masjid Djoro memiliki bentuk arsitektur yang unik, memadukan elemen lokal Batak seperti atap rumbia bertingkat dan tiang-tiang kayu besar sebagaimana masjid pada umumnya di era Samudera Pasai dan Pagaruyung dengan konsep arah kiblat dan tempat wudhu seperti lazimnya masjid di wilayah lain. Ini menjadi bukti integrasi harmonis antara Islam dan budaya Batak.
Meski telah mengalami banyak perubahan, termasuk masa penjajahan dan kristenisasi, masyarakat setempat tetap menyimpan ingatan akan adanya masjid tua yang menjadi bagian penting dari sejarah mereka. Suro bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga bagian dari identitas sejarah Bakkara.
Jejak Islam yang dibawa Sultan Ibrahim atay Tuan Ibrahimsyah tidak menghapus budaya lokal, melainkan menyatu dan memperkaya khasanah spiritual masyarakat Toba. Hal ini menjelaskan mengapa Sisingamangaraja dikenal tidak hanya sebagai raja adat, Khalifah Batak dll tetapi juga sebagai sosok suci yang dihormati lintas agama.
Sebagian besar generasi muda mungkin belum mengenal keberadaan masjid Djoro atau kisah Sultan Ibrahim. Namun upaya pelestarian yang dilakukan oleh sejarawan lokal seperti Ridwan Selian memberikan harapan agar jejak sejarah ini tidak hilang ditelan zaman.
Masjid Suro kini menjadi simbol kebersamaan sejarah, budaya, dan agama di Tanah Batak. Ia adalah cerminan bagaimana Bakkara tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tetapi juga pusat kebudayaan yang terbuka dan menyatu dalam keberagaman.
Melalui kisah ini, masyarakat diharapkan semakin menyadari pentingnya menghargai dan merawat warisan sejarah yang merekatkan identitas lokal dengan narasi besar Nusantara. Sejarah Islam di Bakkara bukan cerita minor, tetapi bagian penting dari perjalanan panjang bangsa. Tanah Batak sendiri dalam sebuah peta yang dikirim oleh Sultan Aceh ke Turki Ottoman di Istanbul, merupakan bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh di bagian selatan Danau Toba sebelum invasi Belanda.
Di tengah zaman yang semakin kompleks, narasi-narasi damai seperti ini sangat dibutuhkan. Sejarah masjid Suro dan keterkaitannya dengan Sisingamangaraja menjadi pelajaran tentang dialog budaya dan toleransi yang hidup dalam praktik, bukan sekadar wacana.


0 Response to "Jejak Islam di Bakkara: Masjid Suro Warisan Sisingamangaraja"
Post a Comment