Pemukiman Rohingya di Bangladesh telah menjadi pusat kegiatan ekonomi yang dinamis, dengan berbagai usaha yang beroperasi di dalam dan sekitarnya. Studi menunjukkan bahwa aktivitas bisnis ini mencakup perdagangan, jasa, dan manufaktur, menandakan ketahanan ekonomi komunitas pengungsi. Meskipun menghadapi berbagai keterbatasan, usaha-usaha ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal, melibatkan baik Rohingya maupun warga Bangladesh.
Meskipun mayoritas usaha di dalam kamp dijalankan oleh Rohingya, warga Bangladesh juga memainkan peran penting, mengelola sekitar 32 persen dari bisnis yang disurvei. Di luar kamp, partisipasi Rohingya dalam bisnis lebih terbatas, terutama oleh mereka yang memiliki status pengungsi resmi dan izin kerja. Namun, sebagian besar bisnis yang dijalankan oleh Rohingya di luar kamp didirikan oleh mereka yang tiba sebelum gelombang migrasi terbaru.
Profil pemilik bisnis dari kedua kelompok menunjukkan kesamaan dalam rentang usia, tetapi perbedaan signifikan dalam hal jenis kelamin, pendidikan, dan bahasa.
Hanya sebagian kecil pemilik bisnis adalah perempuan, dan sebagian besar adalah Rohingya. Warga Bangladesh cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Rohingya, yang sebagian besar tidak memiliki pendidikan formal.
Menariknya, meskipun sebagian besar bisnis didirikan setelah gelombang kekerasan di Myanmar pada Agustus 2017, mayoritas pemilik bisnis Rohingya telah bermigrasi sebelum peristiwa tersebut. Ini menunjukkan bahwa pengungsi yang lebih lama menetap merespons arus masuk pengungsi baru dengan memulai usaha.
Sebagian besar usaha yang disurvei bergerak di bidang perdagangan, baik grosir maupun ritel. Sektor lain yang signifikan termasuk akomodasi dan jasa makanan, manufaktur, transportasi, serta keuangan dan komunikasi. Di dalam kamp, Rohingya lebih cenderung menjalankan usaha perdagangan, manufaktur, dan jasa makanan, sementara warga Bangladesh lebih dominan di sektor transportasi, yang memerlukan modal lebih besar.
Kehadiran warga Bangladesh yang pindah ke wilayah tersebut setelah Agustus 2017 menunjukkan bahwa peluang bisnis yang diciptakan oleh arus masuk pengungsi menarik minat mereka. Biaya awal usaha bervariasi secara signifikan, dengan Rohingya rata-rata memulai usaha dengan modal US501, dibandingkan dengan US2,593 untuk warga Bangladesh. Akses ke pinjaman juga berbeda, dengan warga Bangladesh memiliki akses ke pinjaman formal dari bank atau lembaga kredit mikro, sementara Rohingya hampir sepenuhnya bergantung pada pinjaman informal.
Usaha di dalam kamp cenderung beroperasi dalam skala yang lebih kecil daripada usaha di luar kamp, baik dalam jumlah karyawan, penjualan bulanan, maupun keuntungan. Namun, interaksi bisnis antara Rohingya dan warga Bangladesh tetap intensif, baik dalam bentuk transaksi bisnis-ke-bisnis maupun bisnis-ke-pelanggan.
Lending atau pinjaman memainkan peran penting dalam menjaga keberlanjutan kegiatan ekonomi, dengan hampir setengah dari transaksi dilakukan secara kredit. Namun, pekerja Rohingya secara sistematis dibayar lebih rendah daripada pekerja Bangladesh, bahkan dalam usaha yang dimiliki oleh Rohingya.
Kinerja bisnis yang dijalankan oleh Rohingya juga cenderung lebih rendah dibandingkan dengan bisnis yang dijalankan oleh warga Bangladesh. Faktor-faktor seperti modal awal, skala usaha, lokasi, dan pendidikan berkontribusi pada perbedaan ini. Modal awal yang rendah dan skala usaha yang lebih kecil menjadi faktor utama yang membatasi pertumbuhan usaha Rohingya.
Untuk memajukan usaha Rohingya, intervensi yang tepat diperlukan.
Peningkatan akses ke modal, pelatihan keterampilan, dan pendidikan formal dapat membantu mengatasi hambatan yang dihadapi oleh pengusaha Rohingya. Selain itu, upaya untuk mengurangi diskriminasi dalam pasar tenaga kerja juga penting.
Pemberdayaan ekonomi komunitas Rohingya tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan mereka, tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal dan regional. Dengan mendukung usaha Rohingya, kita dapat menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Pemerintah Bangladesh, organisasi internasional, dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan usaha Rohingya. Investasi dalam infrastruktur, akses ke pasar, dan pengembangan kapasitas usaha kecil dan menengah sangat penting.
Dengan pendekatan yang komprehensif, usaha Rohingya dapat berkembang dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan di wilayah tersebut. Dukungan yang berkelanjutan dan terkoordinasi akan memastikan bahwa komunitas ini dapat memanfaatkan potensi ekonomi mereka sepenuhnya.
Dibuat oleh AI
0 Response to "Usaha Rohingya: Tantangan dan Peluang dalam Membangun Ekonomi Lokal yang Inklusif"
Post a Comment