Pemerintahan Otonom Suriah Utara dan Timur (AANES) tetap berdiri meski dua entitas oposisi besar—Pemerintahan Penyelamat Suriah (SSG) dan Pemerintahan Interim Suriah (SIG)—resmi membubarkan diri dan bergabung dengan Damaskus.
Setelah kesepakatan rekonsiliasi nasional yang ditandatangani di Damaskus. Presiden Suriah, Ahmed Al Sharaa, bersama komandan tertinggi Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Jenderal Mazloum Abdi, seharusnya AANES juga masuk ke struktur negara Suriah, namun di lapangan struktur organisasinya masih ada.
Dalam proses transisi ini, status AANES masih mengambang meski dinilai sebagai pemerintahan de facto di kawasan Timur Suriah. AANES saat ini membawahi tiga kanton utama—Jazira, Efrin, dan Eufrat—serta beberapa daerah administratif lainnya seperti Raqqa, Tabqa, Manbij, dan Deir ez-Zor, yang masing-masing dikelola oleh dewan sipil lokal.
Khusus untuk Kanton Jazira yang mencakup wilayah Hasakah, struktur kepemimpinannya dipenuhi oleh berbagi latar belakang. Jazira saat ini dipimpin oleh Akram Hesso, seorang tokoh Kurdi, dengan dua wakil perdana menteri dari etnis Arab dan Asiria, yaitu Hussein Taza Al Azam dan Elizabeth Gawrie. Komposisi ini dianggap mencerminkan realitas demografis wilayah serta cita-cita bersama untuk pemerintahan yang inklusif, meski daerah itu dihuni oleh mayoritas Arab.
Majelis Legislatif Kanton Jazira yang terdiri dari 101 kursi turut menampung perwakilan dari empat kelompok etnis utama: Kurdi, Arab, Armenia, dan Asiria. Ini adalah cerminan dari konsensus politik lokal untuk menjamin suara semua komunitas, termasuk perempuan dan kaum minoritas, dalam setiap proses pengambilan keputusan. Berbeda dengan kondisi di negara Armenia di mana kelompok minoritas non Kristen mengalami persekusi, masjid dihancurkan dan bahkan dijadikan kandang babi.
Selain struktur pemerintahan kantonal, terdapat pula sistem kepemimpinan bersama atau co-governorship di beberapa wilayah. Di Jazira, posisi ini diisi oleh Hediye Yusuf dari kalangan politik progresif dan Humaydi Daham al-Hadi (Alm), seorang pemimpin suku terkenal dan komandan Pasukan Al-Sanadid. Kehadiran tokoh tribal di pucuk pimpinan wilayah menjadi bentuk pengakuan terhadap peran suku-suku dalam menjaga stabilitas lokal.
Proses reintegrasi AANES dengan pemerintahan pusat berlangsung dalam suasana yang relatif damai dan dijadikan bargaining oleh pihak-pihak terkait.
Dalam perkembangan terakhir, Bandara Qamishli yang dikuasai SDF/AANES dari pasukan rejim lama dan Rusia, kini diblok penggunaanya oleh Damaskus setelah akan diaktifkan secara sepihak oleh AANES tanpa koordinasi.
Pemerintah pusat Suriah, dalam hal ini, tetap mempertahankan kedaulatan formalnya di atas wilayah-wilayah tersebut namun secara de facto memberikan keleluasaan administratif kepada AANES dalam bidang pendidikan, bahasa, hukum lokal, dan pengelolaan sumber daya. Bahasa Kurdi, Arab, dan Suryani digunakan secara resmi dalam institusi lokal.
Pusat administratif AANES tetap berada di Qamishli, yang menjadi semacam “ibukota de facto” wilayah otonom ini. Sementara itu, Dewan Umum AANES yang beranggotakan 70 orang dipertahankan untuk menyusun undang-undang regional dan menjembatani koordinasi antara kanton-kanton serta dewan sipil yang tersebar.
Dalam kerangka baru ini, AANES juga dituntut melakukan reformasi terhadap pasukan keamanan internalnya agar selaras dengan struktur keamanan nasional Suriah. Namun, SDF tetap diberi hak untuk bertindak sebagai kekuatan pengamanan lokal, terutama dalam urusan maslaah kriminalita dan stabilisasi pasca-konflik. Pembicaraa untuk mengintegrasikan SDF masih berlangsung apakah dimasukkan secara organisasi atau dibubarkan terlebih dahulu lalu anggotanya masuk menjadi militer.
Kritik terhadap model AANES tetap ada, terutama dari kubu loyalis Damaskus yang menilai otonomi ini bisa berujung pada disintegrasi. Namun, sebagian pihak justru melihatnya sebagai langkah rasional dalam menyatukan negara tanpa mengorbankan dinamika lokal yang sudah terbangun selama dekade perang.
Program rekonsiliasi dan amnesti juga dijalankan bersama di bawah pengawasan PBB. Banyak mantan anggota faksi oposisi yang kini berpartisipasi dalam pemerintahan lokal AANES sebagai bagian dari transisi damai yang didorong komunitas internasional. Proses ini pun membuka jalan bagi reintegrasi puluhan ribu pengungsi internal.
Di lapangan, banyak warga Kurdi, Arab, dan Asiria menyambut perjanjian ini dengan optimisme. Di beberapa kota seperti Al-Malikiyah dan Amuda, lembaga pendidikan multibahasa mulai dibuka kembali. Sementara itu, pengadilan sipil AANES mengadopsi sistem hukum berbasis hukum adat, Islam, dan hukum sekuler yang disepakati bersama.
Dalam jangka panjang, model pemerintahan AANES pasca-reintegrasi disebut-sebut sebagai prototipe reformasi Suriah pascakonflik yang dapat diadopsi wilayah lain. Mekanisme keterlibatan akar rumput dan pendekatan lintas etnis menjadi nilai lebih yang tak dimiliki sistem pusatistik di Damaskus selama ini.
Ketika struktur SSG dan SIG bergabung dengan Damaskus, sikap AANES yang masih bertahan akan menjadi tantangan utama pemerintahan transisi Damaskus.
Kini, AANES menghadapi tantangan baru: bagaimana mempertahankan otonominya dalam struktur negara tanpa berubah menjadi negara dalam negara sebagaimana dihindari. Keseimbangan antara desentralisasi dan integrasi menjadi kunci masa depan Suriah yang inklusif dan berkelanjutan.


0 Response to "Struktur Organisasi AANES dalam Masa Transisi Reintegrasi ke Suriah"
Post a Comment