Kebijakan wajib militer yang diberlakukan oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan otoritas Administrasi Otonom di timur laut Suriah (AANES) yang didominasi Kurdi dengan dukungan AS dkk menuai kecaman keras dari warga lokal dan lembaga-lembaga hak asasi manusia. Beberapa tahun lalu di kota Manbij dan wilayah sekitarnya yang mayoritas dihuni oleh suku-suku Arab, keputusan untuk memaksa anak-anak muda, termasuk yang masih di bawah umur, masuk dalam dinas militer telah memicu gelombang protes besar yang berujung bentrok berdarah. Delapan warga sipil dilaporkan tewas, sementara lebih dari tiga puluh lainnya luka-luka ketika SDF menggunakan peluru tajam untuk membubarkan aksi damai.
Kemarahan warga Arab memuncak karena anak-anak mereka direkrut secara paksa untuk bertempur dalam konflik yang kadang mempertemukan mereka dengan sesama warga Arab di wilayah lain. Kondisi ini menimbulkan trauma mendalam dan memperkuat anggapan bahwa pemuda-pemuda Arab sedang dijadikan "cannon fodder" atau umpan meriam, dalam konflik yang dijalankan oleh otoritas yang mereka anggap tidak merepresentasikan identitas komunitas mereka. Situasi ini kian diperparah oleh laporan-laporan bahwa anak-anak yang direkrut tidak memiliki persetujuan dari orang tua mereka dan dibawa oleh kelompok milisi terkait secara diam-diam.
Kebijakan ini mencederai citra AANES yang selama ini mengklaim sebagai proyek inklusif dan demokratis untuk semua elemen masyarakat. Sebaliknya, banyak komunitas Arab menilai bahwa AANES semakin bertransformasi menjadi kekuatan otoriter yang meminggirkan suku-suku Arab, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial. Demonstrasi yang digelar di Manbij, termasuk di depan Masjid Raya dan pos pemeriksaan Al-Khataf, membawa tuntutan yang jelas: hentikan wajib militer, tingkatkan distribusi bahan bakar, atasi korupsi, dan akhiri dominasi minoritas Kurdi atas mayoritas Arab.
Euro-Mediterranean Human Rights Monitor menyebut bahwa penghentian sementara kampanye wajib militer oleh Dewan Militer Manbij tidak cukup. Mereka menuntut penyelidikan independen dan menyeluruh atas kekerasan terhadap demonstran dan meminta jaminan agar kebijakan tersebut dicabut secara permanen. Pernyataan itu juga menyoroti pentingnya membangun sistem representasi yang mencerminkan identitas warga lokal, bukan dikendalikan oleh kelompok minoritas atau elit militer.
Kemarahan warga tidak terbendung meski pihak AANES memberlakukan jam malam selama 48 jam mulai 1 Juni. Para pedagang menutup tokonya, dan massa tetap turun ke jalan. Bahkan mereka membakar ban untuk memblokade jalan raya internasional M4 yang menghubungkan Hasakah dan Aleppo. Penolakan itu menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap kebijakan militerisasi bukan lagi hal marginal, melainkan telah menjadi aspirasi luas warga sipil yang muak dengan represi dan ketidakadilan.
Laporan dari berbagai lembaga hak asasi juga menunjukkan adanya pola penangkapan sewenang-wenang terhadap pemuda Arab, termasuk mantan anggota SDF yang dicurigai ingin membelot. Situasi ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan yang dalam antara komunitas Arab dan otoritas de facto di kawasan itu. Penangkapan tanpa dasar hukum dan pembatasan gerak para aktivis sipil menjadi tanda bahwa SDF semakin bersandar pada pendekatan keamanan, bukan representasi sipil.
Isu ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan AANES dan SDF dalam bertransisi dari struktur militer ke sistem sipil yang benar-benar demokratis dan inklusif. Jika kebijakan internal seperti ini terus dijalankan, maka wilayah Jazirah Suriah akan terus terperosok dalam ketegangan etnis dan sosial yang merusak proses rekonsiliasi nasional. Banyak kalangan mulai melihat Damaskus sebagai alternatif, meski mereka dulunya menolak kendali pemerintah pusat.
Dalam beberapa minggu terakhir, jumlah kasus penculikan dan perekrutan paksa anak-anak oleh kelompok bernama “Pemuda Revolusioner” dilaporkan meningkat. Mereka diduga bekerja di bawah struktur militer AANES dan merekrut anak-anak untuk pelatihan militer tanpa persetujuan keluarga. Praktik ini tidak hanya melanggar konvensi internasional, tetapi juga memperburuk luka sosial antara kelompok Kurdi dan Arab yang sudah lama terbentuk.
Kebijakan diskriminatif ini juga tampak dalam pengelolaan sumber daya. Banyak warga Arab mengeluhkan bahwa hasil dari minyak dan gandum yang diproduksi di tanah mereka tidak kembali untuk kesejahteraan lokal, tetapi justru dikendalikan pusat-pusat kekuasaan AANES. Pajak dan pungutan ilegal atas perdagangan serta pergerakan barang turut memperparah beban ekonomi masyarakat Arab yang merasa tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan.
Gelombang ketidakpuasan terhadap AANES dan SDF tidak hanya terbatas di Manbij, tetapi juga menjalar ke Raqqa, Deir Ezzour, Hasakah, hingga Qamishli. Laporan menunjukkan bahwa perekrutan paksa terjadi secara sistemik di kota-kota tersebut, menyasar generasi muda yang seharusnya berada di bangku sekolah atau bekerja untuk keluarganya. Ketakutan dan rasa tidak aman kini menghantui banyak keluarga Arab yang anak-anaknya menjadi target perekrutan dan penerapan denda yang memberatkan jika menolak.
Kekerasan terhadap demonstran sipil menambah catatan buruk bagi AANES di mata dunia internasional. Alih-alih menjadi model pemerintahan alternatif yang adil dan egaliter, mereka justru terjebak dalam praktik otoritarianisme dengan wajah baru. Ketidakmampuan AANES dalam mendengarkan suara rakyat, terutama dari kelompok mayoritas Arab, semakin memperdalam jurang pemisah antar komunitas di wilayah tersebut.
Desakan agar investigasi independen dilakukan semakin kuat setelah video amatir beredar luas menunjukkan korban luka tembak dilarikan ke rumah sakit. Beberapa di antaranya adalah remaja di bawah 18 tahun. Fakta ini membantah narasi AANES bahwa kebijakan mereka bersifat sukarela dan tidak menargetkan anak-anak. Dunia internasional pun diminta untuk tidak menutup mata terhadap pelanggaran serius yang terjadi di wilayah otonom tersebut.
Kebijakan wajib militer paksa ini dinilai mengancam kestabilan jangka panjang kawasan timur laut Suriah. Alih-alih memperkuat sistem pertahanan, langkah tersebut justru membangkitkan perlawanan sipil dan memperburuk hubungan antar etnis. Jika situasi ini dibiarkan, maka risiko meledaknya konflik horizontal semakin besar, apalagi jika aktor luar memanfaatkan ketegangan ini untuk kepentingan geopolitik masing-masing.
Pakar hukum internasional memperingatkan bahwa perekrutan anak-anak dalam konflik bersenjata bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang. Jika praktik ini terus berlangsung, maka AANES dan kelompok-kelompok di bawahnya bisa menghadapi gugatan hukum internasional. Langkah-langkah korektif harus segera diambil untuk mencegah dampak hukum dan moral yang lebih besar.
Sebagian tokoh lokal Arab mulai menyerukan pembentukan dewan sipil independen yang benar-benar mewakili aspirasi komunitas mayoritas. Mereka menekankan bahwa masa depan wilayah tidak bisa dibangun di atas represi dan ketimpangan. AANES harus mengakhiri kebijakan sepihak dan membuka ruang dialog yang jujur dengan seluruh komponen masyarakat.
Jika AANES dan SDF, di era Suriah baru pemerintahan transisi Damaskus, ingin menjaga stabilitas wilayah dan mempertahankan legitimasi politiknya, maka mereka harus segera menghentikan praktik wajib militer paksa, terutama terhadap anak-anak. Keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap hak-hak dasar harus menjadi pilar pemerintahan yang baru. Jika tidak, maka kemarahan yang kini membara di Manbij hanya awal dari krisis yang lebih besar.


0 Response to "Damaskus Ditantang Hapus Wajib Militer Anak di Suriah Timur"
Post a Comment