Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Melihat Daya Tawar SDF Kurdi di Politik Transisi Suriah

Pasca penarikan pasukan Amerika Serikat dari Suriah, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi oleh kelompok Kurdi menunjukkan sikap politik baru yang semakin tegas terhadap Damaskus. Mereka menginginkan agar posisi politik dan militer mereka diakui secara de facto menyerupai status otonom yang dimiliki oleh Kurdistan Irak. Bagi SDF, pengakuan terhadap struktur militer mereka bukan hanya soal eksistensi, tetapi juga sebagai jaminan terhadap masa depan kawasan yang mereka kuasai, terutama di timur laut Suriah yang kaya sumber daya.

Salah satu titik tekan utama yang menjadi batu sandungan dalam perundingan Kurdi-Damaskus adalah penguasaan ladang minyak. Wilayah yang dikuasai SDF mengandung sebagian besar sumber minyak Suriah. Kurdi berkeras mempertahankan kontrol atas sumber daya ini, menjadikannya sebagai alat tawar utama dalam dialog dengan pemerintah pusat. Posisi ini membuat Damaskus semakin berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait integrasi dan konsesi politik.

Sebaliknya, pemerintah Suriah memandang keras kepala Kurdi ini sebagai tantangan terhadap kedaulatan nasional. Bagi Damaskus, penguasaan minyak oleh SDF berpotensi melemahkan kendali negara atas aset strategis, serta memperpanjang status quo yang menjauhkan negeri itu dari penyelenggaraan pemilu nasional yang jujur dan adil. Seperti halnya Irak yang terpecah dalam faksi etnis dan agama pasca-invasi, Suriah kini terancam mengikuti pola yang sama jika SDF bersikeras mengunci posisi otonom mereka.

Pemerintah Suriah, bagaimanapun, tidak kehabisan daya tawar. Meski tekanan internasional berkurang dan Turki terus mengamati labgkah SDF, Damaskus memiliki tiga kartu utama: legitimasi konstitusional, dukungan dari negara Teluk, dan pengaruh di lembaga-lembaga negara. Dengan kontrol atas sistem birokrasi dan militer nasional, Suriah mampu menahan pengakuan formal terhadap struktur SDF sambil terus menawarkan integrasi bersyarat.

Tawaran integrasi dari Damaskus meliputi kemungkinan memasukkan pasukan SDF ke dalam Angkatan Darat Arab Suriah dan polisi Asayish ke dalam struktur kepolisian nasional. Namun, SDF belum merespons secara penuh. Mereka mensyaratkan restrukturisasi militer dan konstitusi terlebih dahulu, serta pengakuan formal terhadap struktur komando mereka. Ini bukan tuntutan kecil, melainkan peta jalan menuju status semi-otonom yang nyata.

Keinginan SDF untuk menjadi seperti Peshmerga di Irak menunjukkan bahwa mereka tidak ingin menjadi subordinat. Mereka ingin menjadi bagian dari negara, tetapi bukan sebagai elemen pasif. Bagi Kurdi Suriah, pengalaman Irak menunjukkan bahwa otonomi bisa dicapai melalui konsistensi politik, kekuatan militer yang terorganisir, dan aliansi regional maupun global yang tepat.

Namun, konteks Suriah sangat berbeda. Tidak ada konsensus internasional yang jelas untuk mendukung otonomi Kurdi. Bahkan sekutu Barat mereka, termasuk Amerika Serikat, telah berulang kali mengecewakan mereka, khususnya dalam implementasi agenda geopolitik. Di sisi lain, Turki, sebagai anggota NATO, aktif menekan Kurdi dan berupaya menghapus entitas militer Kurdi di sepanjang perbatasannya yang dianggapnya sebagai kelompok teroris.

Penarikan pasukan Amerika dari Suriah utara pada 2019 memperjelas kenyataan tersebut. Washington tidak lagi menganggap Kurdi sebagai mitra strategis jangka panjang. Hal ini meninggalkan SDF dalam posisi rentan, memaksa mereka mencari jalan baru untuk mempertahankan wilayah mereka dari ancaman eksternal, terutama dari Ankara.

Kepentingan Damaskus sendiri tidak hanya pada penguasaan wilayah, tetapi juga pada proses rekonsiliasi nasional. Namun, selama Kurdi menolak mengakui otoritas penuh pusat, Damaskus punya alasan untuk tidak menggelar pemilu nasional secara menyeluruh. Ini mirip dengan skenario di Irak, di mana struktur semi-federal menyebabkan pemilu selalu dibayangi oleh konflik sektarian dan distribusi kekuasaan yang tidak merata.

Jika SDF tetap menahan ladang minyak dan menolak integrasi tanpa konsesi besar, maka pemerintah Suriah mungkin memilih mempertahankan status quo. Artinya, tidak akan ada pemilu yang sepenuhnya inklusif. Reformasi konstitusi juga akan mandek. Keseimbangan kekuasaan akan tetap timpang, dan perdamaian jangka panjang akan sulit diraih.

Namun demikian, SDF tahu bahwa waktu tidak selalu berpihak kepada mereka. Stabilitas militer Suriah semakin membaik, dan hubungan Damaskus dengan negara-negara Arab tetangga mulai pulih. Jika Kurdi tidak segera mengambil langkah strategis, mereka bisa kembali terpinggirkan oleh dinamika politik nasional maupun regional.

Di sisi lain, Kurdi juga memainkan waktu sebagai senjata. Mereka tahu Damaskus membutuhkan stabilitas ekonomi, dan sebagian besar sumber minyak Suriah berada di bawah kendali mereka. Dalam jangka pendek, ini memberi mereka pengaruh yang signifikan. Namun, tanpa pengakuan internasional, pengaruh ini bisa bersifat semu.

Turki, sementara itu, tetap menjadi ancaman besar. Ancaman invasi atau operasi militer baru dari Ankara akan terus menghantui kawasan Kurdi di Suriah. Dalam kondisi ini, integrasi ke dalam militer Suriah menjadi opsi paling rasional untuk menjamin perlindungan jangka panjang. Namun, tanpa konsesi dari Damaskus, opsi itu tidak akan diambil.

Rusia sebagai aktor regional dominan berusaha mendorong integrasi tersebut, tetapi tidak akan memaksakan syarat Kurdi kepada Damaskus. Ini menempatkan SDF dalam dilema strategis. Bertahan terlalu lama bisa membuat mereka kehilangan semuanya, namun menyerah terlalu cepat akan membatalkan semua capaian sejak 2011.

Dialog antara SDF dan Damaskus kini bergantung pada kesediaan keduanya untuk membuat kompromi besar. Kurdi harus menerima kenyataan bahwa otonomi total tidak mungkin terjadi, sementara Damaskus harus mengakui bahwa pendekatan sentralistik tidak cocok untuk struktur sosial Suriah pasca-perang.

Jika kompromi ini tercapai, maka SDF bisa menjadi bagian dari tatanan politik baru Suriah, dan negara itu berpeluang untuk memulai kembali proses pemilu yang inklusif dan demokratis. Jika tidak, status quo akan berlanjut, dan Suriah akan tetap menjadi negara dengan wilayah-wilayah tak terintegrasi secara efektif.

Kisah ini bukan hanya tentang Kurdi dan Damaskus. Ini adalah ujian apakah Suriah mampu memulihkan dirinya sebagai satu negara berdaulat yang inklusif, atau akan terus terpecah seperti Irak yang tidak kunjung menstabilkan sistem politiknya. Masa depan Suriah kini bergantung pada hasil negosiasi yang sangat rapuh antara dua kekuatan ini.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Melihat Daya Tawar SDF Kurdi di Politik Transisi Suriah"

Post a Comment