Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Jejak Manusia Rante di Tengah Masyarakat Nusantara


Dalam kisah panjang kolonialisme Belanda di Nusantara, ada bab kelam yang jarang dibicarakan secara terbuka. Bukan hanya soal perang atau ekspansi kekuasaan, tetapi juga tentang ribuan manusia dari berbagai pelosok yang dijadikan kuli angkut dan prajurit bantu dalam ekspedisi militer, khususnya ke Aceh dan Tanah Batak. Mereka dikenal dalam narasi lokal dan dokumen kolonial sebagai “manusia rante” – istilah untuk para pekerja yang dibawa secara paksa atau semi-paksa, diikat dalam sistem kerja keras tanpa upah yang layak, dan kadang-kadang dikawal secara fisik dalam rantai. Mereka bagian dari kuli angkut, tenaga murah, pembantu dll sebagai pendukung pasukan Belanda dan marsose.

Istilah “manusia rante” bukan sekadar simbolis. Banyak dari mereka berasal dari Ambon, Timor, Jawa, Bugis, daerah jajahan Belanda di berbagai benua, bahkan dari kalangan masyarakat yang tidak memahami daerah yang akan mereka datangi. 

Tidak semua “manusia rante” berasal dari narapidana kriminal biasa — sebagian di antaranya adalah tahanan politik, termasuk tokoh perlawanan lokal, pejuang anti-kolonial, atau bahkan penduduk sipil yang dicurigai membantu musuh Belanda. Mereka kerap dijadikan tenaga kerja paksa atau diasingkan ke daerah konflik, lalu dipaksa ikut dalam ekspedisi militer kolonial sebagai kuli angkut.

Dalam ekspedisi militer Belanda ke Aceh selama Perang Aceh yang berlangsung lebih dari tiga dekade, para manusia rante ini menjadi tulang punggung logistik pasukan. Mereka memikul barang, memasak, mendirikan kemah, dan menjadi pendukung tempur yang tak pernah dicatat secara resmi dalam laporan kemiliteran.

Sebagian dari mereka tak pernah kembali. Mereka mati di medan pertempuran atau karena penyakit dan kondisi alam yang keras. Namun, banyak juga yang akhirnya tinggal, baik karena terpisah dari pasukan, kehilangan jalan pulang, atau memilih menetap setelah menikah dan berbaur dengan masyarakat lokal. Di beberapa daerah, sisa-sisa ingatan tentang mereka masih hidup dalam bentuk cerita lisan, seperti istilah "Ambon peudak" di Aceh atau sebutan informal untuk "orang luar" di pedalaman Batak.

Asimilasi menjadi jalan yang ditempuh manusia rante yang bertahan. Di Aceh, sebagai wilayah Islam yang sangat kuat, para pendatang ini lambat laun memeluk Islam agar diterima sebagai bagian dari komunitas. Mereka menikah, memiliki keturunan, dan membaur ke dalam adat Aceh, hingga pada akhirnya, identitas mereka melebur dalam kehidupan masyarakat setempat. Generasi penerus mereka kini tak lagi dikenali sebagai pendatang, tetapi sebagai bagian dari warga lokal yang memegang nilai-nilai keislaman. Di antara keturunanya mereka bisa saja saat ini sudah menjadi pengusaha kaya atau pejabat.

Hal serupa terjadi di wilayah Batak, khususnya di Tapanuli dan Simalungun. Dalam masyarakat Batak yang dikenal dengan sistem kekerabatan berbasis marga, seseorang yang berasal dari luar tak mungkin bisa masuk ke struktur sosial tanpa pengakuan adat. Banyak dari manusia rante yang memilih tinggal di tanah Batak akhirnya memeluk agama Kristen. Melalui gereja dan upacara adat, mereka diberi tempat dan diakui sebagai bagian dari masyarakat.

Dalam lingkungan gereja Protestan dan Katolik di tanah Batak, bisa jadi tercatat proses-proses adopsi sosial dan pembaptisan terhadap para pendatang ini. Mereka yang dulunya hanya dikenal sebagai pekerja paksa, lambat laun menjadi warga gereja yang aktif dan bahkan berkontribusi besar dalam penginjilan, kehidupan rohani dan sosial komunitas lokal. Gereja menjadi jalan masuk yang penting bagi proses integrasi tersebut.

Meski jejak mereka seolah hilang ditelan waktu, namun keberadaan mereka masih bisa ditelusuri. Arsip-arsip Belanda yang mencatat daftar tenaga bantu militer, catatan medis, hingga daftar logistik dari ekspedisi ke Aceh dan Tanah Batak menyimpan potongan-potongan nama yang mungkin tidak asing. Sementara di pihak lokal, banyak gereja dan lembaga adat yang menyimpan buku baptis dan arsip tarombo yang secara diam-diam masih mencatat asal-usul para pendatang itu.

Penelusuran ini penting, bukan hanya untuk sejarah, tapi juga untuk rekonsiliasi dengan masa lalu. Generasi keturunan manusia rante mungkin tidak mengetahui asal-usul leluhur mereka karena narasi itu hilang atau sengaja disembunyikan akibat stigma sosial yang melekat pada status "budak" atau "orang luar". Dalam konteks modern, mengungkap kembali cerita ini bisa menjadi jembatan untuk memahami pluralitas dan ketangguhan identitas masyarakat lokal.

Mereka yang dulunya dianggap kelas kedua dalam tatanan kolonial, kini telah bertransformasi menjadi bagian dari jantung budaya Aceh dan Batak. Mereka beribadah di masjid dan gereja, terlibat dalam kegiatan adat, dan tidak lagi dipandang sebagai orang asing. Namun demikian, warisan mereka tetap hidup—dalam cerita-cerita turun-temurun, dalam nama yang masih terasa asing di tengah-tengah komunitas, dan dalam pertanyaan-pertanyaan tak terjawab di balik silsilah keluarga.

Istilah manusia rante mungkin sudah lama hilang dari percakapan sehari-hari, tapi maknanya tetap kuat. Ia adalah simbol tentang bagaimana kekuasaan kolonial menciptakan mobilitas manusia yang tidak atas kehendak sendiri, dan bagaimana manusia, dalam segala keterbatasannya, mencari jalan untuk bertahan dan berakar di tanah yang baru.

Jejak mereka bisa ditemukan di jalan-jalan sunyi pedalaman Aceh, atau di pinggiran danau Toba yang tenang. Mereka tidak membangun benteng atau menulis sejarah, tetapi mereka adalah bagian dari fondasi masyarakat yang kini kita kenal. Merekalah saksi bisu dari sebuah masa di mana manusia dipindahkan seperti barang, tapi tetap mampu menciptakan kehidupan baru di tempat asing.

Melacak kembali keturunan mereka bukan perkara mudah. Diperlukan kajian lintas disiplin—sejarah, antropologi, linguistik, bahkan teologi—untuk membuka kembali arsip-arsip yang menyimpan nama-nama kecil dari para pekerja tak dikenal itu. Namun, jalan itu tetap terbuka. Arsip Belanda dan gereja lokal masih menyimpan banyak data yang dapat membuka jendela ke masa lalu yang terlupakan.

Dalam upaya membangun sejarah yang inklusif, kisah manusia rante perlu ditulis ulang, bukan dengan nada pilu semata, tapi sebagai kisah ketahanan manusia. Mereka tidak punya kekuasaan, tapi mereka punya pilihan: untuk hidup, menetap, dan menjadi bagian dari masyarakat baru yang kelak memanggil mereka sebagai saudara. Maka dari itu, mereka layak disebut bagian dari sejarah, bukan hanya kaki tangan kolonial, tetapi pelaku dalam narasi besar tentang percampuran dan keberlanjutan masyarakat Nusantara.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Jejak Manusia Rante di Tengah Masyarakat Nusantara"

Post a Comment