Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Suriah dan Wacana Monarki: Antara Sejarah dan Satire


Damaskus kembali menjadi pusat perhatian diskusi publik setelah munculnya wacana kontroversial mengenai kemungkinan mengubah sistem pemerintahan Suriah menjadi monarki. Gagasan ini mencuat dalam salah satu segmen acara populer di kanal “Syria TV”, yang dipandu oleh Yara Khalil, dan telah menimbulkan perdebatan sengit di kalangan warga Suriah, baik di dalam negeri maupun diaspora. Video tersebut dengan cepat menyebar di media sosial, memantik pertanyaan besar: apakah ini wacana serius, bentuk satire, atau refleksi keputusasaan terhadap situasi politik yang stagnan?

Meskipun terdengar mengejutkan, Suriah memiliki sejarah panjang sebagai wilayah kekuasaan kerajaan. Sejak awal berdirinya kekhalifahan Umayyah pada abad ke-7 Masehi, Damaskus bahkan pernah menjadi ibu kota kekaisaran Islam yang menguasai wilayah dari Spanyol hingga India. Kekhalifahan Umayyah mewariskan struktur birokrasi yang ketat, arsitektur megah, serta pemusatan kekuasaan yang kuat—ciri khas pemerintahan monarki absolut.

Setelah keruntuhan Umayyah, wilayah Suriah terus menjadi bagian dari berbagai kerajaan dan kekhalifahan, termasuk Abbasiyah, Mamluk, dan Utsmaniyah. Bahkan setelah jatuhnya kekuasaan Ottoman pasca Perang Dunia I, Suriah sempat mengalami fase singkat sebagai kerajaan modern. Pada tahun 1920, Emir Faisal bin Hussein diangkat menjadi Raja Suriah, meskipun hanya bertahan beberapa bulan sebelum digulingkan oleh pasukan Prancis dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Maysalun.

Meskipun fase kerajaan itu sangat singkat, jejak historisnya tetap membekas. Sebagian pengamat menilai bahwa pengaruh struktur monarki tidak sepenuhnya lenyap dari kebudayaan politik Suriah, terutama dalam praktik nepotisme dan pengultusan tokoh politik seperti yang terlihat dalam rezim Hafez al-Assad dan dilanjutkan oleh putranya, Bashar al-Assad. Dalam banyak hal, sistem pemerintahan Suriah modern telah mengadopsi model semi-monarki de facto dengan pewarisan kekuasaan secara turun-temurun.

Wacana mengembalikan bentuk monarki secara terbuka menimbulkan pertanyaan serius: apakah ini langkah realistis menuju stabilitas atau sekadar bentuk keputusasaan atas sistem republik otoriter yang stagnan? Sebagian publik memandang wacana ini sebagai satire politik yang cerdas, menggambarkan betapa absurdnya situasi politik Suriah saat ini. Gagasan ini muncul seiring meningkatnya frustrasi masyarakat terhadap elit politik yang dianggap gagal memulihkan negara dari kehancuran pascaperang.

Namun di sisi lain, terdapat pula sebagian suara yang dengan serius mengeksplorasi kemungkinan bentuk pemerintahan alternatif. Mereka berargumen bahwa sistem monarki konstitusional seperti di Yordania atau Maroko mampu menciptakan stabilitas jangka panjang, memberikan identitas nasional yang kuat, dan menjaga simbol kesatuan di tengah fragmentasi etno-sektarian. Pandangan ini mengandaikan bahwa raja dapat menjadi pemersatu simbolis tanpa terlalu mencampuri urusan eksekutif dan legislatif.

Meski demikian, banyak kalangan mempertanyakan relevansi sistem monarki di abad ke-21, terutama di negara yang sangat plural seperti Suriah. Kekhawatiran terbesar adalah bahwa monarki akan memperparah ketimpangan kekuasaan, mempersempit ruang demokrasi, dan membuka jalan bagi munculnya dinasti baru yang tak jauh berbeda dari status quo yang saat ini dikeluhkan. Dalam konteks Suriah, di mana luka-luka perang dan kebencian sektarian masih terbuka, penunjukan figur monarki bisa menjadi bahan bakar konflik baru.

Kontroversi ini pun diperkuat oleh kebijakan domestik yang seolah mempertegas ketimpangan, seperti keputusan Kementerian Ekonomi Suriah yang melarang impor mobil bekas. Kebijakan ini dipandang sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kondisi ekonomi rakyat yang kian memburuk, dan menambah frustrasi publik terhadap pemerintah. Di tengah himpitan ini, tidak mengherankan jika wacana monarki muncul sebagai bentuk pelarian, bahkan jika itu hanya berupa sarkasme.

Dalam tayangan tersebut, Yara Khalil menghadirkan narasi yang mengolok-olok kesenjangan antara realitas dan janji pemerintah. Format video itu memang lebih menyerupai satire politik ketimbang wacana serius kebijakan negara. Namun, justru di situlah kekuatan narasinya. Sarkasme menjadi alat yang ampuh untuk menyoroti absurditas dalam sistem politik saat ini, dengan menyodorkan alternatif yang tampak lebih menggelikan namun tetap mengundang renungan.

Beberapa pengamat politik Timur Tengah berpendapat bahwa kemunculan diskursus semacam ini menunjukkan kebuntuan dalam politik Suriah. Ketika ruang oposisi ditutup dan solusi transisi tidak kunjung datang, publik terpaksa mengekspresikan kekecewaan melalui media alternatif seperti satire dan parodi. Dalam konteks itu, monarki bukanlah solusi, melainkan metafora tentang betapa stagnannya politik Suriah.

Ada pula yang melihat wacana ini sebagai bentuk nostalgia terhadap masa lalu yang dianggap lebih tertib dan teratur. Kerinduan terhadap “ketegasan” dalam kepemimpinan, meskipun otoriter, mencerminkan kegagalan sistem republik dalam membangun legitimasi yang kuat di mata rakyat. Keinginan akan simbol pemersatu bangsa, yang netral di atas semua fraksi, mungkin menjadi daya tarik utama gagasan monarki.

Namun, realisasi ide ini hampir mustahil di tengah konfigurasi kekuasaan saat ini. Baik kubu pemerintah, oposisi, maupun entitas otonom seperti AANES di timur laut Suriah memiliki agenda sendiri yang tidak mengarah pada pengembalian sistem kerajaan. Selain itu, intervensi aktor regional dan internasional dalam konflik Suriah membuat segala bentuk perubahan sistem pemerintahan menjadi rumit dan penuh syarat.

Respons dari berbagai elemen masyarakat terhadap tayangan Syria TV ini juga mencerminkan keragaman pendapat di kalangan diaspora Suriah. Sebagian menganggapnya menghibur, sebagian lagi menyebutnya penghinaan terhadap penderitaan rakyat. Apa pun responsnya, video ini berhasil membangkitkan kembali perbincangan tentang identitas nasional Suriah dan arah masa depannya.

Wacana monarki mungkin hanyalah satire, tetapi daya gugatnya cukup kuat untuk mengangkat kembali wacana reformasi politik. Setidaknya, ia membuka ruang diskusi tentang alternatif di luar struktur kekuasaan yang saat ini mandek. Dalam politik, bahkan humor bisa menjadi senjata perlawanan yang tajam.

Suriah saat ini berada di persimpangan sejarah. Bangsa yang pernah menjadi pusat kekhalifahan kini terperangkap dalam konflik pascaperang yang belum usai. Di tengah kehancuran itu, harapan akan sistem baru—meskipun berupa sarkasme—tetap hidup di benak banyak orang. Monarki bukanlah solusi yang realistis, tapi ia menunjukkan bahwa rakyat masih ingin bermimpi tentang tatanan yang lebih adil dan bermartabat.

Mungkin yang dibutuhkan Suriah bukan raja baru, melainkan sistem yang benar-benar memulihkan kepercayaan rakyat. Entah dalam bentuk republik atau sistem lain, yang jelas adalah bahwa stagnasi saat ini tidak bisa dibiarkan terus berlarut. Dan dalam dunia politik yang penuh ketegangan, bahkan satire bisa menjadi titik tolak untuk sebuah perubahan yang nyata.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Suriah dan Wacana Monarki: Antara Sejarah dan Satire"

Post a Comment