Keterlibatan CIA dalam berbagai pergolakan politik di dunia ketiga bukanlah rahasia baru, terlebih setelah pengakuan terbuka atas peran lembaga intelijen itu dalam kudeta Iran tahun 1953. Pengakuan yang datang terlambat itu menyebut secara jelas bagaimana Amerika Serikat, melalui CIA, menjatuhkan Perdana Menteri Mohammad Mosaddegh yang saat itu berani menasionalisasi industri minyak Iran, menantang dominasi Inggris dan Amerika. Keberhasilan kudeta ini membuka mata dunia tentang bagaimana pengaruh luar bisa membentuk sejarah bangsa lain.
Kini pertanyaannya, akankah CIA suatu saat bersikap serupa terhadap keterlibatannya dalam Musim Semi Arab? Rangkaian pemberontakan yang dimulai dari Tunisia dan menjalar ke Mesir, Libya, Suriah, dan Yaman kerap disebut sebagai murni gerakan rakyat yang menuntut demokrasi dan keadilan. Namun, banyak analis dan pengamat sejak awal mencurigai adanya pengaruh asing dalam dinamika tersebut, termasuk campur tangan langsung maupun tidak langsung dari badan intelijen seperti CIA.
Meski belum ada pengakuan resmi dari Washington, berbagai laporan investigasi dan kesaksian mantan pejabat menyebut bahwa Amerika memiliki kepentingan strategis untuk mengganti rezim-rezim yang tidak lagi sejalan dengan kepentingan geopolitik mereka, terutama di Timur Tengah yang kaya energi dan berpengaruh secara ideologis. Jika benar, maka pola intervensi CIA di Musim Semi Arab tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Iran tujuh dekade sebelumnya.
Pelajaran besar dari kudeta Iran 1953 adalah bahwa intervensi asing yang berhasil menjatuhkan pemimpin nasionalis bisa saja menghasilkan stabilitas jangka pendek, tetapi melahirkan trauma dan dendam politik yang membara dalam jangka panjang. Pemerintahan Shah yang dipulihkan oleh Amerika justru tumbuh menjadi rezim otoriter yang menekan rakyat, hingga akhirnya digulingkan oleh Revolusi Iran pada 1979. Revolusi itu bukan hanya mengubah peta kekuasaan di Iran, tetapi juga menanamkan luka mendalam terhadap AS di benak rakyat Iran.
Jika CIA memang terlibat dalam Musim Semi Arab dengan skema serupa, maka dampak jangka panjangnya pun bisa sangat mirip. Di Libya, jatuhnya Muammar Gaddafi yang didukung kekuatan udara NATO, termasuk AS, tak lantas membawa kedamaian. Sebaliknya, Libya terpecah menjadi negara gagal, dikuasai oleh berbagai milisi, dan menjadi ladang subur ekstremisme. Hal yang serupa juga terjadi di Suriah, di mana dukungan tak langsung kepada kelompok oposisi memperpanjang perang saudara yang menelan ratusan ribu korban jiwa.
Di Mesir, jatuhnya Hosni Mubarak memang membawa angin segar, tetapi tak berlangsung lama. Demokrasi digantikan kembali oleh militer dalam wujud Abdel Fattah el-Sisi, sosok yang justru memperketat kekuasaan lebih daripada pendahulunya. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah tujuan intervensi benar-benar untuk demokrasi, atau hanya untuk mengganti figur yang tidak lagi menguntungkan bagi kepentingan luar?
Membuka arsip peran CIA dalam Musim Semi Arab bukan hanya soal transparansi, tetapi juga tentang tanggung jawab sejarah. Rakyat di negara-negara tersebut berhak mengetahui sejauh mana kehendak mereka dimanipulasi atau dimanfaatkan dalam permainan kekuasaan global. Sejarah yang jujur bukan untuk mengutuk masa lalu, tetapi untuk mencegah kesalahan yang sama terulang di masa depan.
Jika pengakuan soal Iran bisa datang setelah puluhan tahun, maka publik dunia patut bersabar dan terus menekan pemerintah AS untuk membuka catatan keterlibatannya di Timur Tengah selama dekade 2010-an. Sebab tanpa kejelasan, narasi yang berkembang akan terus dipenuhi teori konspirasi dan spekulasi yang justru menyulitkan rekonsiliasi di antara negara-negara.
CIA dikenal memiliki kebijakan “plausible deniability”, yaitu kemampuan menyangkal keterlibatan dalam operasi apa pun. Namun, tekanan publik dan dinamika politik domestik di AS sendiri terkadang bisa mendorong pengungkapan dokumen yang sebelumnya dirahasiakan. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Vietnam, Guatemala, dan tentu saja Iran. Tak menutup kemungkinan Musim Semi Arab pun suatu saat akan mendapat momen yang sama.
Masalahnya, jika pengakuan datang terlalu terlambat, maka banyak peluang perbaikan sudah terlewatkan. Kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap Barat terus membesar di dunia Islam. AS, yang sering mengklaim sebagai pelindung demokrasi, malah dinilai munafik karena hanya mendukung demokrasi bila sesuai dengan kepentingan strategisnya.
Intervensi di Iran seharusnya menjadi pelajaran bahwa rakyat suatu bangsa tidak bisa dipaksa melalui manipulasi untuk menerima sistem yang dipaksakan dari luar. Meski berhasil secara taktis, dampaknya bisa mengakar hingga beberapa generasi. Dalam konteks Musim Semi Arab, para pengamat menyebut bahwa perubahan yang dihasilkan justru lebih bersifat kosmetik dan tidak menyelesaikan persoalan struktural yang menjadi akar kemarahan rakyat.
Jika CIA memang menyimpan dokumen rahasia terkait peran mereka di Musim Semi Arab, maka membuka dokumen tersebut bisa membantu menjelaskan banyak hal. Siapa yang sebenarnya menginisiasi perubahan? Sejauh mana tekanan luar berperan dalam mengarahkan arah revolusi? Dan apa yang bisa dilakukan komunitas internasional untuk membangun ulang tatanan yang rusak pasca konflik?
Di tengah tuntutan dunia terhadap keadilan sejarah dan keterbukaan informasi, sudah saatnya badan-badan intelijen besar seperti CIA mempertimbangkan tanggung jawab moral mereka. Memang tidak semua informasi bisa dibuka begitu saja tanpa risiko, namun menutupinya selamanya hanya memperpanjang siklus kecurigaan global.
Dalam skema besar politik internasional, Musim Semi Arab bukan sekadar rangkaian demonstrasi. Ia adalah cermin dari bagaimana percaturan global bisa ikut menentukan nasib jutaan orang di negara-negara berkembang. Mengakui peran yang dimainkan—baik oleh CIA atau negara besar lainnya—akan menegaskan bahwa dunia masih punya ruang untuk koreksi dan pembelajaran kolektif.
Iran menjadi contoh nyata bahwa intervensi yang didasarkan pada kepentingan jangka pendek bisa berbalik menjadi masalah besar bagi intervensornya sendiri. Amerika harus menilai ulang semua kebijakan luar negeri yang bertumpu pada penggulingan rezim. Kemenangan sesaat tak akan pernah menggantikan legitimasi rakyat yang sejati.
Sejarah memang tidak bisa dihapus, tetapi bisa dituliskan kembali dengan lebih jujur dan lengkap. Jika CIA suatu saat membuka arsip Musim Semi Arab, maka dunia punya kesempatan untuk memahami peristiwa itu dengan cara yang lebih mendalam. Dan mungkin, luka-luka yang dulu disangkal akan mulai disembuhkan.


0 Response to "Ketika PM Iran Dikudeta CIA"
Post a Comment