Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Setelah Insiden Druze, Suriah Secara tidak Resmi Telah Pecah


Situasi di Suriah kembali memanas, dengan dugaan kuat bahwa Israel telah berhasil menunjukkan hegemoninya dengan mengendalikan milisi Al-Hajri dari komunitas Druze untuk mengacaukan stabilitas regional. Pemboman yang berulang kali dilancarkan ke Damaskus, ibu kota Suriah, secara gamblang memperlihatkan bahwa Israel bisa bersikap semena-mena, melakukan agresi militer dengan atau tanpa dalih yang jelas, tanpa adanya respons berarti dari komunitas internasional.

Langkah Israel ini semakin memperkeruh konflik yang tak berkesudahan di Suriah, seolah-olah memanfaatkan kerentanan internal negara itu untuk kepentingannya sendiri. Pemboman Damaskus bukan hanya sekadar unjuk kekuatan, melainkan juga pesan bahwa Israel memiliki kebebasan bertindak di wilayah tersebut, menantang kedaulatan Suriah tanpa konsekuensi serius.

Penarikan Militer Suriah dan Otonomi Druze yang Tak Terucap

Dengan penarikan militer Suriah dari Sweida dan beberapa wilayah yang didominasi Druze, praktis hal ini menjadi "pengakuan" otonomi de facto bagi komunitas tersebut, meskipun tidak pernah diumumkan secara resmi.

Keputusan ini secara tidak langsung memberikan keleluasaan bagi milisi Druze di bawah kepemimpinan Al-Hajri untuk beroperasi lebih bebas, tanpa intervensi langsung dari pemerintah pusat.

Pengakuan tak terucap ini bisa menjadi bumerang bagi Damaskus, karena membuka celah bagi entitas non-negara untuk memperkuat posisinya di dalam negeri. Keadaan ini menciptakan preseden berbahaya di mana kelompok-kelompok bersenjata lain mungkin menuntut otonomi serupa, memperumit upaya Damaskus untuk memulihkan kontrol penuh atas wilayahnya.

Pada era Bashar Al Assad, Suriah memang terpecah dalam empat pemerintahan. Damaskus, pemerintahan penyelamat (SG) di Idlib, pemerintahan interim (SIG) di Azaz dan SDF di Timur Suriah.

Usai Assad tumbang dan digantikan oleh Presiden Ahmed Al Sharaa, tinggal hanya Damaskus dan SDF, usai SG dan SIG menyatu. 

Kini akan menjadi tiga yakni Damaskus, SDF dan Druze. Jika kondisi terus berlanjut, Alawite dan eks pendukung Assad akan kembali ikut bermain di Latakia dan Tartus sehingga kembali menjadi empat pihak.

Al-Hajri dan Kekuatan Baru di Panggung Suriah

Kelompok Druze, khususnya di bawah pengaruh Al-Hajri, kini menjadi lebih kuat karena telah mendapatkan panggung politik dan militer yang signifikan. Yang paling mencolok, Al-Hajri dan milisinya tidak ditangkap atau diadili atas pembantaian terhadap suku Arab Badui, sebuah insiden yang seharusnya memicu penegakan hukum namun justru dibiarkan begitu saja.

Imunitas ini tidak hanya meningkatkan moral milisi Al-Hajri, tetapi juga mengirimkan pesan bahwa mereka kebal hukum, setidaknya untuk saat ini. Kondisi ini memperkuat persepsi bahwa ada kekuatan di balik layar yang melindungi mereka, memungkinkan mereka untuk beroperasi tanpa takut akan konsekuensi hukum dari tindakan mereka.

Jaringan Al-Hajri: Israel, AANES/SDF, dan Bantuan Medis

Selain diduga melibatkan Israel, milisi Al-Hajri juga diketahui menjalin komunikasi dan bahkan koordinasi dengan pemerintahan de facto Otonomi Administrasi Suriah Utara dan Timur (AANES) atau yang lebih dikenal sebagai SDF (Syrian Democratic Forces). Kolaborasi ini, terutama dalam hal bantuan medis, menunjukkan jaringan kompleks yang dibangun Al-Hajri untuk memperkuat posisinya.

Hubungan ini mengindikasikan bahwa Al-Hajri tidak hanya beroperasi sebagai kelompok lokal, tetapi juga bagian dari jaringan yang lebih luas, memanfaatkan dukungan dari berbagai pihak untuk mencapai tujuannya. Keterlibatan SDF, yang didukung AS, semakin memperjelas dimensi internasional dari pergerakan Al-Hajri dan ambisi mereka.

Druze yang Membingungkan Damaskus dan Semakin Disegani

Meskipun tidak semua komunitas Druze di Suriah pro-Israel, milisi Al-Hajri kini semakin disegani karena kemampuannya dalam menciptakan kebingungan dan dilema bagi pemerintah Damaskus.

Mereka telah berhasil membangun citra sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan, mampu menentang pemerintah pusat tanpa harus menghadapi tindakan keras yang berarti.

Kondisi ini menunjukkan bahwa Al-Hajri telah berhasil mengeksploitasi kelemahan pemerintah Suriah, menggunakan posisinya untuk menekan Damaskus agar mengakui tuntutan mereka. Keberhasilan ini tidak hanya meningkatkan reputasi Al-Hajri di mata pengikutnya, tetapi juga di mata para pemain regional lainnya.

Posisi Utusan Khusus AS Tom Barrack yang Semakin Kuat

Kejadian ini juga secara tidak langsung memperkuat posisi Utusan Khusus Amerika Serikat, Tom Barrack, di wilayah tersebut, bahkan menjadikannya lebih kuat daripada presiden Suriah sendiri dalam beberapa aspek. Sebelumnya, AS hanya mengandalkan kekuatan SDF untuk melemahkan pemerintah pusat di Damaskus. Namun kini, dengan penambahan kekuatan milisi Druze di bawah Al-Hajri, pengaruh AS semakin meluas.

Ini menunjukkan pergeseran strategi AS di Suriah, dari hanya mengandalkan satu proxy menjadi memperluas jaringannya untuk mencakup kelompok-kelompok lain yang memiliki agenda serupa. Kekuatan gabungan SDF dan Druze memberikan AS leverage yang lebih besar dalam negosiasi dan upaya membentuk masa depan politik Suriah sesuai kepentingannya.

Pelacakan AS Terhadap Suku Arab Badui dan Eliminasi di Masa Depan

AS biasanya akan melacak kekuatan suku Arab Badui atau suku-suku Arab lainnya yang memberikan dukungan atau bantuan kepada pihak-pihak yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Pola ini terlihat jelas sebagaimana yang terjadi di Irak khusunya menjelang berakhirnya penggulingan Saddam Husein, di mana AS dan sekutunya seringkali melakukan eliminasi atau netralisasi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap mengancam dominasi mereka, dengan berbagai cara baik militer maupun politik.

Ini adalah peringatan bagi kelompok-kelompok lokal di Suriah yang mungkin berpihak pada Damaskus atau kelompok lain yang tidak sejalan dengan kepentingan AS dan Israel dengan ambisi neokolonialisme Greater Israel-nya. Strategi ini menunjukkan bahwa AS tidak ragu untuk menggunakan berbagai metode untuk memastikan dominasinya di wilayah tersebut dan mencegah kebangkitan kekuatan yang mungkin menantang agenda mereka.

Koordinasi Terselubung: Suriah Bakal Tak Pernah Aman

Koordinasi terselubung yang terjadi antara Israel, Amerika Serikat, milisi Druze di bawah Al-Hajri, dan SDF di lapangan menciptakan kondisi di mana Suriah bakalan tak pernah aman dari sejumlah drama politik regional yang tiada henti.

Interaksi kompleks antara berbagai aktor ini menciptakan lingkungan ketidakpastian yang kronis, menghalangi setiap upaya untuk mencapai perdamaian dan stabilitas jangka panjang, meski secara terbuka masing-masing mengklaim ingin menciptakan perdamaian dan menghormati integritas wilayah Suriah.

Hal itu mirip dengan apa yang terjadi di Gaza, di mana AS membentuk dapur umum yang kelihatan sebuah langkah kemanusiaan namun menjadi lapangan tembak kepada pengungsi Gaza yang antri makanan.

Keadaan ini memastikan bahwa Suriah akan terus menjadi medan pertempuran proksi, dengan setiap aktor berusaha memaksimalkan keuntungannya sendiri.

Ketidakmampuan pemerintah Suriah untuk sepenuhnya mengendalikan wilayahnya, ditambah dengan intervensi eksternal yang terus-menerus, mengunci negara itu dalam siklus kekerasan dan ketidakstabilan yang tampaknya tak berujung.

Langkah pemerintah Suriah telah terkunci di berbagai lini, karena di satu sisi ingin menstabilkan negaranya tapi di sisi lain tetap harus menjalin hubungan baik dengan AS dan Israel yang menduduki wikayahnya di Quneitra.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Setelah Insiden Druze, Suriah Secara tidak Resmi Telah Pecah"

Post a Comment