Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Kampung Apung Demak, Wisata Rob Masa Depan


Di tengah krisis lingkungan yang semakin akut di pesisir utara Jawa dan begitu juga Singkil di Aceh, Kabupaten Demak menjadi salah satu daerah yang paling terdampak naiknya muka air laut dan banjir rob. Desa-desa seperti Timbulsloko di Kecamatan Sayung hampir setiap hari tergenang air asin. Sawah berubah menjadi tambak, jalan menjadi kanal, dan rumah menjadi pulau-pulau kecil yang terisolasi. Namun, dari kondisi memprihatinkan itu, lahirlah semangat baru: menjadikan kampung-kampung tenggelam ini sebagai kawasan apung yang adaptif dan menarik untuk wisata.

Pemerintah desa bersama Pemkab Demak dan Pemprov Jawa Tengah mulai melirik potensi transformasi kawasan rob ini. Tidak hanya sebagai tempat tinggal adaptif, tetapi juga sebagai destinasi wisata edukatif dan ekologis. Model floating village atau kampung apung yang sebelumnya hanya menjadi gambaran kota-kota besar dunia, kini mulai dilirik sebagai jalan keluar yang realistis dan berkelanjutan. Kampung yang dulu hanya disorot karena banjir rob, mulai dipetakan untuk menjadi ikon inovasi kawasan pesisir.

Langkah awal sudah dimulai. Pembangunan rumah apung dan rumah amfibi telah dimulai di Timbulsloko, dengan dukungan dari universitas dan lembaga sosial. Rumah-rumah ini dirancang dapat mengapung saat rob naik, dan kembali ke tanah saat surut. Tidak hanya menyelamatkan penghuninya, tapi juga menciptakan citra baru tentang bagaimana manusia bisa hidup berdampingan dengan air. Ini adalah visi besar yang jika dijalankan serius, bisa menjadikan Demak pionir perkampungan apung di Indonesia.

Inspirasi ini tak datang begitu saja. Sejumlah negara telah lebih dulu membuktikan bahwa hidup berdampingan dengan air bukanlah hal yang mustahil. Belanda, misalnya, sudah sejak awal abad ke-21 mengembangkan perumahan apung di Maasbommel. Rumah-rumah di sana didesain terapung dengan sistem pondasi ponton. Saat Sungai Maas meluap, rumah ikut naik tanpa kerusakan. Mereka menyebutnya bukan lagi bencana, tapi adaptasi cerdas.

Sementara itu, di Bangladesh, ribuan warga miskin yang tinggal di wilayah banjir tahunan berhasil dipertahankan pendidikannya dan penghidupannya lewat sekolah apung dan rumah apung buatan NGO lokal. Dengan menggunakan bahan sederhana seperti bambu, drum plastik, dan kayu ringan, komunitas yang semula tertinggal kini menjadi contoh hidup dari ketahanan sosial dan lingkungan. Teknologi murah ini cocok ditiru oleh desa-desa pesisir Demak dengan sedikit penyesuaian lokal.

Di wilayah delta Mekong, Vietnam, rumah amfibi menjadi jawaban atas banjir musiman. Rumah-rumah ini tidak sepenuhnya terapung, namun dibangun agar bisa naik turun mengikuti tinggi air. Struktur bangunannya menggunakan kabel penahan dan drum pengapung yang fleksibel. Model ini juga sangat cocok dengan kontur dan ekonomi masyarakat pesisir Demak yang membutuhkan teknologi tangguh namun terjangkau.

Bangkok, ibu kota Thailand, telah lebih dulu mengintegrasikan rumah apung di kawasan Sungai Chao Phraya. Rumah-rumah ini dirancang tidak hanya terapung, tapi juga sebagai bagian dari sistem transportasi air kota. Jika Demak mampu mengembangkan kanal yang saat ini terbentuk dari rob sebagai jalur air, maka rumah apung bisa terhubung seperti rumah-rumah kanal di Amsterdam atau Bangkok.

Transformasi dari desa korban rob menjadi desa apung wisata bukan sekadar impian jika dikelola dengan benar. Pemdes bisa memulai dengan merancang ulang tata ruang desa, membangun dermaga kecil, membuat taman mangrove terapung, atau bahkan museum rob mini. Wisatawan yang datang tidak hanya menikmati keunikan desa terapung, tapi juga belajar soal perubahan iklim, adaptasi lokal, dan budaya pesisir yang bertahan melawan zaman.

Desa-desa yang dulunya terpinggirkan bisa menjadi halaman depan Demak yang baru. Wisatawan akan datang bukan hanya karena keindahan, tapi karena keunikan dan cerita ketahanan masyarakatnya. Kampung yang tadinya disebut “kampung tenggelam” bisa menjadi “kampung bertahan”, bahkan “kampung harapan”. Dengan tambahan perahu wisata, pasar terapung, dan homestay apung, nilai ekonomi kawasan rob bisa meningkat drastis.

Kunci dari semua ini adalah kemauan. Pemerintah desa tak bisa hanya menunggu proyek dari pusat. Harus ada langkah nyata seperti inventarisasi lahan, pelatihan warga, kerja sama dengan kampus, hingga pembentukan BUMDes pariwisata. Kolaborasi adalah jalan keluar. Lembaga seperti yayasan swasta, yang telah bekerja di Demak, bisa diajak bersama-sama membentuk model wisata edukasi lingkungan di desa terdampak rob.

Pendanaan awal bisa dimulai dari CSR perusahaan sekitar, program green economy, atau kerja sama dengan LSM lingkungan. Ke depan, desa apung ini bisa menjadi contoh nasional tentang transformasi iklim. Bahkan bisa menjadi lokasi studi banding dari daerah lain seperti Tegal, Pekalongan, atau Subang yang juga mulai terdampak rob. Demak bisa menjadi pelopor.

Membangun kampung apung tak berarti menyerah pada rob, justru sebaliknya. Ini adalah pernyataan: kami tidak akan pergi dari tanah kami, tapi kami akan beradaptasi. Dan dalam proses adaptasi itu, justru lahir keunikan dan daya tarik yang baru. Kekuatan lokal tidak lagi dipinggirkan, tapi dijadikan kekuatan utama.

Perubahan ini juga bisa meredam arus urbanisasi. Anak-anak muda desa tak perlu lari ke kota. Mereka bisa bekerja di sektor pariwisata, edukasi lingkungan, kuliner pesisir, dan UMKM berbasis air. Ketika kampung jadi panggung, desa tidak lagi jadi tempat yang ditinggalkan. Inilah wajah pembangunan yang menyatu dengan budaya dan realitas ekologis.

Belajar dari dunia luar bukan berarti menyalin mentah-mentah. Belajar dari Belanda, Bangladesh, atau Vietnam, bisa dilakukan dengan menyesuaikan konteks lokal Demak. Budaya pesisir Jawa, kearifan lokal nelayan, dan kemampuan gotong royong harus jadi fondasi utama.

Saat ini, rumah apung masih dalam tahap uji coba. Tapi jika didorong dengan visi jangka panjang, dalam waktu lima sampai sepuluh tahun, kampung-kampung rob bisa menjadi pusat inovasi lingkungan dan destinasi wisata unik yang mendunia. Bukan hanya bertahan, tapi berkembang.

Arah ini hanya akan berhasil jika ada keberanian. Keberanian pemimpin desa, dukungan warga, dan konsistensi kebijakan. Ketika banjir rob menjadi inspirasi, bukan kutukan, maka saat itu pula peradaban baru lahir di atas air. Kampung apung bukan lagi fiksi, tapi masa depan Demak yang sedang dibangun hari ini.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kampung Apung Demak, Wisata Rob Masa Depan"

Post a Comment