Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Pertemuan Diplomatik Suriah Terselubung di Balik Kesiagaan Militer

Pada akhir pekan lalu, serangkaian peristiwa dramatis kembali menyoroti rapuhnya stabilitas di Suriah. Di satu sisi, upaya diplomatik terlihat sedang berlangsung di ibu kota Yordania, Amman, melibatkan perwakilan dari Yordania, Suriah, dan Amerika Serikat. Di sisi lain, ketegangan militer membara di Suriah utara dan timur, menandakan bahwa perdamaian masih jauh dari kenyataan.

Pergerakan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang mengumumkan siaga tempur tertinggi memicu spekulasi tentang potensi eskalasi baru yang bisa mengubah peta kekuasaan di kawasan tersebut.

Pertemuan di Amman menjadi salah satu poin penting. Diskusi yang melibatkan perwakilan tiga negara ini, termasuk Utusan Khusus AS Tom Barack dan Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, bertujuan untuk membahas upaya rekonstruksi dan menstabilkan situasi yang terus bergejolak. Fokus utama dari pertemuan ini adalah menopang gencatan senjata di Provinsi Al-Suwayda, Suriah selatan, yang menjadi salah satu titik rawan. Namun, di tengah perbincangan damai ini, kabar bentrokan bersenjata justru datang dari tempat lain.

Menurut laporan media Suriah, seorang tentara Suriah tewas dalam sebuah bentrokan dengan SDF di Tal Maaz, sebelah timur Aleppo. Insiden ini, yang terjadi setelah pasukan SDF dilaporkan menyusup ke wilayah yang dikuasai tentara Suriah, menjadi pemicu utama meningkatnya tensi. Meskipun laporan menyebut pasukan SDF dipaksa mundur, insiden tersebut cukup untuk memicu respons keras dari pihak SDF, yang kemudian mengumumkan status siaga tempur penuh di seluruh wilayah kendali mereka.

Pernyataan dari pimpinan SDF sangat tegas. Mereka secara terbuka menyalahkan Damaskus atas apa yang mereka sebut sebagai "provokasi terhadap Kurdi" dan "pelanggaran gencatan senjata yang berulang." Pihak SDF juga mengeluarkan peringatan keras bahwa mereka akan mengambil "langkah-langkah defensif" jika Damaskus terus melakukan konfrontasi. Peringatan ini bukan sekadar gertakan; hal ini mencerminkan keseriusan SDF dalam mempertahankan wilayah dan otonomi yang telah mereka bangun di Suriah utara dan timur.

Jika skenario terburuk terjadi dan militer Suriah memilih opsi perang untuk menguasai kembali Suriah timur, maka konsekuensinya akan sangat besar.

Gerakan militer tersebut tidak hanya akan menghadapi perlawanan dari SDF, sebuah kekuatan militer yang terorganisir dengan baik, tetapi juga akan memicu konfrontasi langsung dengan pasukan Amerika Serikat yang berada di wilayah tersebut.

Kehadiran pasukan AS di sana bukan hanya untuk melindungi SDF, tetapi juga sebagai bagian dari operasi untuk destabilisasi Timur Tengah dan memastikan keseimbangan kekuatan di antara beberapa kelompok untuk kepentingan geopolitik regional.

Sebuah serangan langsung terhadap SDF akan dianggap sebagai serangan terhadap kepentingan AS, yang kemungkinan besar akan memicu respons militer yang cepat dan tegas.

Dalam skenario konfrontasi langsung ini, kemampuan militer Suriah untuk menguasai seluruh Suriah timur akan sangat terbatas. Selama pasukan AS masih berada di wilayah tersebut, mereka akan menjadi "garis merah" yang sulit ditembus. 

Pasukan AS memiliki superioritas teknologi dan daya tembak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan militer Suriah. Mereka akan menjadi penghalang yang efektif, membatasi ruang gerak dan ambisi militer Suriah untuk menaklukkan wilayah yang telah lama berada di bawah kendali SDF. Konflik yang terjadi kemungkinan besar akan berpusat pada pertempuran lokal yang intens, bukan perang total yang bisa dimenangkan oleh militer Suriah.

Situasi di Suriah selatan juga memiliki potensi untuk meledak, terutama dengan kehadiran milisi seperti yang dipimpin oleh Al-Hijri. Seperti yang disorot dalam sebuah diskusi panel, kredibilitas Al-Hijri dipertanyakan karena tuduhan keterlibatannya dalam pemindahan pembersihan etnis Arab Badui di As-Suwayda.

Jika ketegangan di Suriah utara dan timur meningkat, milisi Al-Hijri bisa saja memanfaatkan situasi tersebut untuk memperluas kekuasaan atau melakukan provokasi baru di As-Suwayda. Langkah semacam itu akan sangat kontradiktif dengan seruan persatuan yang digaungkan dalam Konferensi Hasakah dan akan mengancam stabilitas di wilayah selatan, menciptakan satu lagi front konflik yang rumit dan multi-faksi. Tapi langkah itu akan sesuai dengan misi kolonialisme Greater Israel yang mendukung milisi Druze tersebut.

Tindakan tersebut akan menambah kerumitan konflik yang sudah ada. Alih-alih menyatukan negara, langkah-langkah provokatif dari milisi lokal akan semakin memecah belah Suriah, menciptakan kekerasan sektarian yang lebih luas. Hal ini juga bisa mengikis kredibilitas pihak-pihak yang berusaha mempromosikan rekonsiliasi dan desentralisasi, termasuk dari konferensi yang diadakan di Hasakah.

Sebaliknya, upaya tersebut akan memperkuat narasi bahwa konflik di Suriah adalah perang total untuk kekuasaan, bukan hanya untuk kedaulatan.

Pertanyaannya kemudian, apakah dengan bantuan AS, SDF bisa merebut Damaskus dan menjatuhkan rezim Ahmed Al Sharaa, atau yang dikenal luas sebagai Bashar al-Assad? Skenario ini sangat tidak mungkin terjadi. Misi utama AS di Suriah untuk memastikan Suriah semakin terpuruk dan mendukung SDF dalam mempertahankan wilayah mereka, bukan untuk menggulingkan pemerintah pusat di Damaskus. 

AS tidak akan mendukung operasi militer yang berisiko tinggi dan bisa memicu perang regional besar-besaran, terutama dengan adanya pangkalan Rusia di Suriah. Sebuah serangan ke Damaskus akan melampaui mandat dan kepentingan AS saat ini.

Oleh karena itu, nasib Presiden Ahmed Al Sharaa tidak akan serupa dengan nasib Mohamed Morsi di Mesir. Morsi digulingkan oleh kudeta militer dari dalam negeri setelah berkuasa selama setahun.

Nasib Al Sharaa, jika memang harus berakhir, kemungkinan besar akan ditentukan oleh kombinasi faktor-faktor militer eksternal dan perundingan politik yang dipimpin PBB, atau mungkin melalui kekalahan di medan perang yang jauh lebih besar dan kompleks. 

Gulingnya Morsi adalah peristiwa internal Mesir, sementara nasib Al Sharaa adalah bagian dari konflik multi-nasional yang melibatkan kekuatan regional seperti Israel dan global, yang jauh lebih rumit.

Sebagai penutup, situasi di Suriah terus menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan. Meskipun ada pertemuan diplomatik yang menjanjikan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa ketegangan militer masih sangat tinggi. Masa depan Suriah akan sangat bergantung pada apakah semua pihak mampu menahan diri dari tindakan provokatif dan kembali ke meja perundingan, atau apakah provokasi-provokasi kecil akan memicu api konflik yang lebih besar.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pertemuan Diplomatik Suriah Terselubung di Balik Kesiagaan Militer"

Post a Comment