Konflik Sudan terus merenggut korban, namun di balik hiruk-pikuknya, Jebel Marra tetap berdiri sebagai saksi bisu perjuangan dan penderitaan.
Di pegunungan yang terjal ini, sejarah panjang pergulatan hak ulayat terukir, dengan kelompok pemberontak utama, Sudan Liberation Army (SLA), sebagai pemeran utamanya. Perjalanan SLA tidaklah mulus, penuh dengan perpecahan, aliansi yang rapuh, dan pertumpahan darah yang tiada akhir.
Lahirnya SLA adalah respons untuk memperkuat posisi etnis non-Arab di kancah politik di Darfur, seperti Fur, Zaghawa, dan Masalit. Selama bertahun-tahun, mereka merasa pemerintah harus mengutamakan hak mereka.
Pembangunan infrastruktur dan alokasi sumber daya negara tidak pernah menyentuh wilayah mereka, meninggalkan Darfur dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Puncaknya pada awal tahun 2000-an, ketika ketegangan etnis dan perebutan lahan semakin memanas, memicu pembentukan SLA pada tahun 2003.
Pada awalnya, SLA adalah gerakan bersenjata yang relatif utuh, dipimpin oleh tokoh-tokoh karismatik seperti Abdel Wahid Mohamed al-Nur dan Minni Minnawi. Misi mereka jelas: menuntut pembagian kekayaan yang lebih adil, partisipasi politik yang setara, dan pengakuan atas hak-hak budaya dan identitas mereka. Gerakan ini dengan cepat mendapatkan dukungan luas dari penduduk Darfur yang merasa kurang diperhatikan.
Perang pun pecah, dan pemerintah Sudan meresponsnya dengan mengerahkan milisi Janjaweed, yang kemudian berevolusi menjadi Rapid Support Forces (RSF), memicu krisis kemanusiaan besar-besaran.
Namun, visi yang sama tidak cukup untuk mempertahankan persatuan. SLA dengan cepat terpecah menjadi beberapa faksi, masing-masing dengan ambisi dan strategi yang berbeda. Salah satu perpecahan paling signifikan terjadi antara Abdel Wahid Mohamed al-Nur dan Minni Minnawi. Perbedaan pandangan mereka tentang apakah akan bernegosiasi dengan pemerintah atau melanjutkan perjuangan bersenjata menjadi pemicu utama.
Faksi SLA/Abdel Wahid (SLA/AW) yang dipimpin oleh al-Nur menolak untuk menandatangani perjanjian damai apa pun dengan pemerintah, menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Darfur. Faksi ini mundur ke benteng tradisional mereka di Jebel Marra dan terus melancarkan perlawanan, menjadikan wilayah itu sebagai pusat pemerintahan mereka dalam sebuah 'negara mini' mereka hingga hari ini.
Mereka bersikeras bahwa perdamaian sejati hanya bisa dicapai jika akar penyebab konflik, yaitu ketidakadilan struktural, diatasi sepenuhnya.
Di sisi lain, SLA/Minni Minnawi (SLA/MM) lebih terbuka untuk bernegosiasi dan akhirnya menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah. Minni Minnawi bahkan diangkat menjadi Gubernur Darfur.
Namun, perjanjian damai ini tidak mengakhiri kekerasan. Justru, hal itu menciptakan dinamika baru, di mana faksi-faksi SLA yang berbeda sering bertempur satu sama lain, atau bersekutu dengan pihak-pihak yang berbeda, seperti RSF atau Angkatan Bersenjata Sudan (SAF).
Perpecahan ini semakin rumit dengan munculnya faksi-faksi kecil lainnya, seperti SLA-Transitional Council (SLA-TC) yang dipimpin oleh El Hadi Idris dan SLA/Mustafa Tambour. Faksi-faksi ini juga memiliki agenda dan aliansi politik mereka sendiri, sering kali berganti-ganti pihak sesuai dengan keuntungan politik.
Perang saudara yang meletus antara SAF dan RSF pada April 2023 semakin mengaburkan garis pertempuran. Beberapa faksi SLA, termasuk SLA/MM, memilih untuk mendukung SAF, dengan alasan mereka adalah satu-satunya entitas yang dapat menjaga kedaulatan Sudan. Di sisi lain, faksi seperti SLA-TC bersekutu dengan RSF, melihat mereka sebagai kekuatan baru yang dapat menggulingkan rezim lama.
Meskipun begitu, faksi SLA/AW di Jebel Marra tetap mempertahankan posisinya, menolak untuk bersekutu dengan kedua belah pihak. Mereka menganggap baik SAF maupun RSF bertanggung jawab atas penderitaan di Darfur dan bertekad untuk terus berjuang hingga tujuan awal mereka tercapai.
Kehidupan di Jebel Marra sendiri adalah cerminan langsung dari gejolak politik yang terus-menerus. Wilayah ini adalah salah satu yang paling sulit dijangkau di Darfur, sebagian besar karena medan pegunungannya yang terjal. Jalur-jalur yang ada sering kali tidak dapat dilalui, membuat pengiriman bantuan kemanusiaan menjadi misi yang sangat berbahaya.
Bencana alam menambah penderitaan penduduk setempat. Tanah longsor besar yang terjadi di salah satu desa terpencil di Jebel Marra, menewaskan seluruh penduduknya, adalah contoh tragis dari tantangan yang dihadapi. Karena lokasinya yang terisolir dan kondisi keamanan yang tidak stabil, tim penyelamat dan bantuan dari pemerintahan 'negara mini' ini tidak dapat menjangkau lokasi kejadian tepat waktu.
Kejadian ini menyoroti bagaimana konflik dan geografi saling terkait, menciptakan kesulitan yang luar biasa bagi warga sipil yang tidak bersalah.
Ketidakstabilan yang berkepanjangan di Sudan juga berdampak pada wilayah Sudan Selatan. Meskipun Sudan Selatan telah merdeka pada tahun 2011, perbatasan kedua negara masih menjadi sumber ketegangan. Beberapa faksi SLA diketahui beroperasi di perbatasan, memanfaatkan kekacauan untuk merekrut anggota atau mencari perlindungan. Konflik di Sudan sering kali tumpah ke Sudan Selatan, dan sebaliknya.
Pemerintah Sudan Selatan sendiri, yang sudah merdeka terlebih dahulu, berjuang untuk membangun negara baru di tengah tantangan internal dan eksternal.
Perang saudara di dalam negerinya sendiri membuat mereka tidak dapat memberikan dukungan yang berarti bagi faksi-faksi SLA atau ikut campur secara signifikan dalam konflik Sudan.
Situasi di Sudan, Darfur, dan Jebel Marra tetap menjadi teka-teki. Aliansi politik berubah setiap hari, dan tidak ada pihak yang tampaknya memiliki kendali penuh atas situasi ini. Rakyat Jebel Marra, yang telah berjuang selama puluhan tahun, terus hidup dalam ketidakpastian. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam konflik yang terus berlanjut.
Masa depan Darfur dan Jebel Marra sangat bergantung pada apakah perpecahan di antara faksi-faksi SLA dapat disatukan, dan apakah ada perjanjian damai yang adil dan inklusif yang dapat mengakhiri kekerasan. Sampai saat itu, suara-suara di Jebel Marra akan terus bergema, menuntut keadilan, pengakuan, dan hak untuk hidup dalam damai.
Perjuangan untuk menentukan nasib Darfur terus berlanjut, dan Jebel Marra, dengan segala penderitaannya, tetap menjadi pusat dari semua itu. Tanah yang terjal ini menyimpan cerita tentang perlawanan yang tak kenal lelah, dan di balik setiap batu, ada kisah perjuangan untuk kebebasan dan keadilan yang belum berakhir.
Demografi Jebel Marra
Jebel Marra, sebuah benteng alami di jantung Darfur, memiliki sejarah yang kompleks, baik dari sisi geografi politik maupun perjuangan kemanusiaan. Banyak yang salah memahami Jebel Marra sebagai satu distrik administratif, padahal kenyataannya wilayah ini adalah sebuah massa geologi besar yang melintasi perbatasan beberapa negara bagian dan distrik di Darfur. Kerumitan ini menjadi salah satu alasan utama mengapa konflik dan krisis kemanusiaan di sana begitu sulit untuk diatasi.
Awalnya, Jebel Marra memang mencakup distrik administratif, tetapi pegunungan itu sendiri membentang melintasi tiga negara bagian Darfur: Darfur Utara, Darfur Selatan, dan Darfur Tengah. Wilayah pegunungan ini mencakup beberapa distrik atau "lokalitas", termasuk Zalingei, Nertiti, dan Kass. Kompleksitas ini membuat pemerintahan dan koordinasi bantuan sangat sulit, karena setiap negara bagian memiliki administrasi dan prioritas yang berbeda, sementara otoritas pusat seringkali tidak memiliki kontrol efektif.
Jumlah populasi Jebel Marra adalah data yang sangat sulit untuk diverifikasi karena konflik yang terus-menerus dan perpindahan penduduk secara masif.
Sensus terakhir yang dapat diandalkan dilakukan pada tahun 2008, tetapi bahkan data tersebut tidak mencakup seluruh wilayah. Perkiraan dari lembaga-lembaga kemanusiaan seperti PBB dan OCHA menunjukkan bahwa ratusan ribu orang tinggal di wilayah yang lebih luas, meskipun jumlah yang tinggal di "inti" Jebel Marra yang dikuasai oleh pemberontak jauh lebih kecil.
Perkiraan terbaru menyebutkan ada sekitar 365.000 orang yang tinggal di wilayah Jebel Marra yang lebih luas, namun sepertiga dari jumlah tersebut, atau sekitar 120.000 orang, berada di area pegunungan yang paling terpencil. Dengan pertempuran yang sering terjadi, sebagian besar penduduk ini terus-menerus dalam kondisi terlantar atau mengungsi. Kondisi ini membuat upaya penghitungan yang akurat hampir tidak mungkin dilakukan, dan angka-angka yang ada seringkali hanya perkiraan.
Di tengah gejolak ini, Sudan Liberation Army/Abdel Wahid (SLA/AW) muncul sebagai kekuatan dominan. Kelompok ini adalah faksi utama yang menolak untuk menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah dan memilih untuk mempertahankan perjuangan bersenjata mereka. Pemimpin mereka, Abdel Wahid Mohamed al-Nur, menjadi simbol perlawanan tanpa kompromi, yang mendapat dukungan kuat dari penduduk etnis Fur di wilayah tersebut.
Mengenai kekuatan tempur, SLA/AW tidak memiliki kekuatan militer konvensional yang besar, namun mereka sangat efektif dalam perang gerilya. Estimasi jumlah pejuang mereka bervariasi secara signifikan, tetapi laporan dari berbagai sumber memperkirakan kekuatan tempur mereka berkisar antara 500 hingga 2.000 pejuang yang terlatih. Angka ini seringkali tidak mencerminkan kekuatan sebenarnya, karena banyak pejuang yang merupakan milisi paruh waktu yang hanya angkat senjata ketika desa mereka terancam.
Kekuatan tempur SLA/AW terletak pada penguasaan mereka terhadap medan pegunungan yang sulit dan pengetahuan mendalam tentang medan tempur. Mereka dapat bersembunyi di lembah-lembah terpencil, menggunakan labirin gua dan lereng curam sebagai tempat perlindungan. Taktik gerilya ini membuat pasukan pemerintah dan milisi pro-pemerintah seperti RSF kesulitan untuk mengalahkan mereka secara telak, meski dengan keunggulan persenjataan.
Keberadaan SLA/AW di Jebel Marra menjadi alasan utama mengapa bantuan kemanusiaan sulit menjangkau wilayah tersebut. Pada masa lalu, pemerintah Sudan sering memblokir akses ke wilayah yang dikuasai pemberontak, sementara pertempuran yang terjadi membuat perjalanan menjadi sangat berbahaya bagi staf bantuan. Bantuan yang masuk seringkali terbatas dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan populasi yang rentan.
Masuknya bantuan semakin terhambat oleh bencana alam, seperti tanah longsor yang disebutkan sebelumnya, yang menewaskan satu desa. Bencana ini adalah contoh tragis dari bagaimana isolasi geografis dan ketidakstabilan politik bersatu untuk menciptakan tragedi kemanusiaan. Tanpa akses jalan yang aman dan koordinasi yang baik, tim penyelamat dan bantuan tidak dapat mencapai korban tepat waktu, meninggalkan penduduk yang terisolasi untuk berjuang sendiri.
Singkatnya, Jebel Marra lebih dari sekadar distrik; ini adalah lanskap yang kompleks, pusat geografi konflik dan kemanusiaan. Dengan populasi yang terus-menerus dalam kondisi rentan dan kekuatan tempur SLA/AW yang memanfaatkan medan sulit, wilayah ini tetap menjadi salah satu benteng terakhir perlawanan di Sudan.


0 Response to "Jebel Marra, 'Negara Mini' di Sudan yang Terkenal dengan Keindahan Alamnya"
Post a Comment