Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Tareq Saleh dan Saddam Haftar: Dua Gaya Kepemimpinan di Pesisir

Tareq Saleh di Mocha, Yaman, dan Mayor Jenderal Saddam Haftar di Benghazi, Libya, sering dibandingkan karena keduanya tampil sebagai tokoh militer muda yang berusaha menata ulang kekuatan di wilayah masing-masing. Mereka sama-sama lahir dari bayang-bayang keluarga besar politik dan militer, namun gaya kepemimpinan yang mereka terapkan memiliki nuansa yang berbeda. Mocha dan Benghazi, dua kota pelabuhan strategis di dunia Arab, kini menjadi panggung bagi dua figur yang sedang membangun pengaruh.

Tareq Saleh muncul setelah pecahnya konflik internal Yaman pasca-2017. Sebagai keponakan mendiang Presiden Ali Abdullah Saleh, ia berhasil mengonsolidasikan pasukan yang tercerai-berai menjadi sebuah struktur militer baru yang dikenal dengan sebutan Pasukan Penjaga Republik. Basis utamanya adalah Mocha, sebuah kota pelabuhan bersejarah di Laut Merah yang kini menjadi markas strategis dalam menghadapi Houthi. Dari Mocha, Tareq tidak hanya membangun kekuatan militer, tetapi juga jaringan politik yang membuatnya masuk ke Dewan Kepemimpinan Presiden Yaman pada 2022.

Saddam Haftar, putra Khalifa Haftar, justru membangun reputasi militernya di Benghazi dengan cara yang lebih terstruktur dan publik. Sepanjang tahun 2024, ia memimpin berbagai operasi besar. Pada Januari, ia meresmikan pencapaian komando umum di Benghazi sekaligus memulai reorganisasi pasukan darat. Langkah ini dipandang sebagai upaya menegaskan otoritasnya di bawah bayang-bayang sang ayah, sekaligus mempersiapkan transisi kepemimpinan militer Libya ke generasi baru.

Perbandingan gaya terlihat jelas ketika Tareq lebih banyak bergerak dengan pendekatan pragmatis, fokus pada penataan ulang kekuatan yang rusak akibat perang saudara panjang. Ia mengandalkan dukungan Uni Emirat Arab untuk memperkuat logistik dan pelatihan militernya, sementara Saddam Haftar menampilkan gaya kepemimpinan yang lebih teatrikal dengan serangkaian latihan besar seperti manuver “Dignity Shield” pada Maret 2024 yang melibatkan 10.000 pasukan.

Di Mocha, Tareq membangun citra sebagai pemimpin yang mengutamakan stabilitas lokal. Ia menempatkan kota pelabuhan ini sebagai benteng pertahanan sekaligus simbol perlawanan terhadap Houthi. Pada 2017, pasukan pemerintah merebut kembali Al-Mokha dari Houthi, dan sejak itu Tareq menjadikannya pusat konsolidasi. Sementara itu di Libya, Saddam Haftar lebih menonjolkan peran sebagai arsitek nasional, melakukan tur ke wilayah selatan seperti Kufra pada April dan bahkan mengirim bantuan logistik berupa 60 truk bahan bakar ke Libya selatan pada Juni.

Kesamaan mereka adalah upaya memperluas legitimasi melalui tindakan yang menyentuh masyarakat. Tareq menekankan pentingnya dukungan rakyat Taiz dan pesisir Laut Merah, sementara Saddam Haftar menyalurkan bantuan keuangan untuk keluarga martir, mengelola isu pengungsi Sudan, dan menghadiri acara budaya seperti Karnaval Warisan Libya pertama di Benghazi pada November 2024. Keduanya menyadari bahwa kekuatan militer saja tidak cukup tanpa basis sosial yang kuat.

Namun, gaya publik mereka berbeda. Tareq lebih berhati-hati dan memilih jalur diplomasi untuk masuk ke lingkaran politik Yaman, hingga akhirnya menjadi bagian dari kepemimpinan kolektif. Saddam Haftar justru tampil terbuka di panggung internasional, misalnya dengan melakukan tur ke Burkina Faso dan Chad pada Juli, serta bertemu dengan delegasi AFRICOM. Hal ini menunjukkan Saddam sedang membangun citra sebagai pemimpin militer dengan dimensi geopolitik lebih luas dibandingkan Tareq.

Dalam hal operasi militer, Mocha dan Benghazi menjadi cermin dua strategi. Mocha digunakan Tareq sebagai basis pertahanan jangka panjang, fokus menahan pergerakan Houthi di pantai barat. Benghazi bagi Saddam Haftar adalah laboratorium militer, tempat ia menggelar manuver, reorganisasi, dan latihan tempur, termasuk latihan malam pasukan khusus di Sirte pada Desember 2024.

Keduanya juga menghadapi tantangan berbeda. Tareq harus berhadapan dengan fragmentasi politik Yaman dan tarik-menarik kepentingan antara pemerintah sah, Houthi, dan Dewan Transisi Selatan. Saddam Haftar di sisi lain berhadapan dengan tantangan menyatukan Libya yang terbelah antara timur, barat, dan selatan, sembari memastikan keberlangsungan pengaruh keluarga Haftar.

Meski begitu, peran Tareq di Mocha dan Saddam di Benghazi sama-sama memperlihatkan munculnya generasi baru pemimpin militer Arab. Mereka tampil dalam konteks pascaperang yang tidak mudah, mencoba menyeimbangkan kepentingan militer, politik, dan sosial. Masing-masing memiliki basis kota pelabuhan strategis yang menentukan masa depan negara mereka.

Tareq dikenal lebih fokus pada penyusunan ulang kekuatan internal, menjaga agar Mocha tetap aman sebagai jalur vital perdagangan Laut Merah. Ia belajar dari kegagalan masa lalu di Hudaydah, ketika pasukannya mundur pada 2021, dan sejak itu memperkuat pertahanan serta diplomasi politiknya. Saddam justru membuktikan dirinya dengan aksi-aksi nyata di lapangan, dari pembebasan nelayan Libya di Niger pada Februari hingga menghadiri upacara kelulusan pasukan terjun payung pada Desember.

Jika Saddam Haftar banyak bermain dengan simbolisme militer besar-besaran, Tareq menampilkan kepemimpinan yang lebih adaptif, tidak segan-segan berkompromi dengan kekuatan politik lain untuk mempertahankan perannya. Mocha bukan hanya pangkalan militer, tetapi juga ruang untuk membangun citra politik yang bisa diterima oleh berbagai faksi di Yaman.

Dalam perspektif internasional, Saddam Haftar berhasil menunjukkan dirinya sebagai figur yang siap masuk ke gelanggang geopolitik, sementara Tareq masih berkutat dengan kompleksitas internal Yaman. Namun, keduanya sama-sama berupaya membangun warisan keluarga: Tareq meneruskan nama Saleh, Saddam memperkuat dinasti Haftar.

Mocha dan Benghazi, meski berbeda, sama-sama memegang kunci jalur strategis dunia Arab. Mocha mengendalikan pintu masuk Laut Merah, sementara Benghazi adalah pusat militer Libya timur. Dari kota-kota inilah Tareq dan Saddam mencoba membuktikan diri sebagai pemimpin yang mampu mengendalikan masa depan negaranya.

Penting untuk dicatat bahwa gaya kepemimpinan mereka juga mencerminkan kebutuhan situasional. Yaman yang penuh fragmentasi menuntut Tareq menjadi lebih pragmatis, sementara Libya yang membutuhkan simbol kekuatan menuntut Saddam tampil lebih garang.

Dalam jangka panjang, keberhasilan Tareq akan diukur dari kemampuannya menjaga stabilitas Mocha dan memperluas legitimasi politiknya di tingkat nasional. Sedangkan Saddam akan diukur dari kemampuannya membuktikan diri sebagai penerus yang layak bagi dinasti Haftar dan sebagai figur yang bisa mengintegrasikan militer Libya.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa dua kota pelabuhan yang jauh terpisah, Mocha dan Benghazi, kini menjadi laboratorium gaya kepemimpinan militer baru di dunia Arab. Tareq dengan pendekatan pragmatis dan terukur, Saddam dengan gaya teatrikal dan penuh simbol kekuatan.

Keduanya sama-sama berupaya menjawab pertanyaan besar: apakah pemimpin militer muda bisa membawa stabilitas di negeri yang terpecah? Jawabannya masih menunggu waktu, tetapi jelas bahwa baik di Mocha maupun Benghazi, benih-benih kekuasaan baru sedang tumbuh.

Baca selengkapnya

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tareq Saleh dan Saddam Haftar: Dua Gaya Kepemimpinan di Pesisir"

Post a Comment