Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Israel Jadikan Kelaparan Gaza Sebagai Senjata Genosida dan Peras Negara Pemberi Bantuan

Krisis kemanusiaan di Gaza kembali menjadi sorotan dunia setelah laporan-laporan terbaru menunjukkan adanya praktik weaponisasi atau penggunaan kelaparan sebagai alat genosida oleh Israel. Di tengah blokade berkepanjangan, akses bantuan kemanusiaan yang seharusnya menjadi jalur penyelamat justru dijadikan alat tawar-menawar. Gaza kini menghadapi kondisi yang semakin buruk, dengan ribuan keluarga bergantung pada pasokan pangan yang dikendalikan penuh oleh otoritas Israel. Perusahaan yang ditunjuk untuk menyalurkan bantuan juga menembaki warga yang antri pangan.

Banyak lembaga internasional menyoroti cara Israel mengatur jalannya distribusi bantuan. Setiap bantuan yang hendak masuk ke Gaza harus melewati pemeriksaan ketat, prosedur panjang, dan tidak jarang dikenai biaya tambahan, yang pada akhirnya dana tersebut digunakan demi beli senjata untuk membantai warga Gaza yang telah kelaparan.

Pemerasan ini membuat pasokan pangan menjadi langka dan harganya melambung. Bagi warga Gaza, sekadar mendapatkan tepung atau minyak goreng sudah menjadi perjuangan berat.

Di balik itu, Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata politik. Dengan mengendalikan bantuan, Israel bisa mengatur ritme tekanan terhadap kelompok di Gaza sekaligus mengirim pesan keras kepada dunia internasional mengenai hegemoninya yang didukung AS dan Eropa di belakang layar maupun di pentas PBB.

Setiap negara atau lembaga yang ingin menyalurkan bantuan harus tunduk pada mekanisme Israel, seakan-akan mereka memegang kunci hidup dan mati warga Gaza.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa kali memperingatkan dalam keterangan formalnya bahwa praktik ini bisa dikategorikan sebagai bentuk hukuman kolektif sebagaimana terjadi disebuah kamp konstrasi pembersihan etnis. Namun, hingga kini tidak ada sanksi nyata yang diberikan kepada Israel. Situasi di lapangan terus memburuk, sementara anak-anak Gaza semakin terjebak dalam lingkaran malnutrisi.

Selain mengendalikan jalur bantuan, Israel juga menaikkan harga pangan yang masuk ke Gaza. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa barang-barang yang berhasil lolos pemeriksaan Israel dikenakan biaya transportasi, izin, hingga pungutan tak resmi yang membuat harga melonjak drastis. Akibatnya, bantuan kemanusiaan yang seharusnya gratis berubah menjadi komoditas mahal yang sulit dijangkau warga miskin Gaza. Negara atau lembaga pemberi bantuanpun secara tidak langsung menjadi terlibat dalam 'mendanai' genosida tersebut. Pundi-pundi Israel meningkat tajam untuk membeli senjata pemusnah yang baru.

Praktik monopoli ini menimbulkan kritik tajam dari berbagai pihak. Lembaga kemanusiaan internasional menilai Israel tidak hanya menutup jalur distribusi, tetapi juga memperdagangkan penderitaan warga Gaza. Mereka menyebutnya sebagai bentuk pemerasan global, karena dunia internasional dipaksa membayar lebih mahal jika ingin menyalurkan bantuan. Belum lagi pemboman yang dilakukan Israel di luar negeri, termasuk di Doha, Qatar baru-baru ini, menarget tim negosiasi Gaza.

Kondisi ini mengingatkan pada strategi perang klasik di mana kelaparan dijadikan senjata untuk melemahkan musuh. Namun, perbedaannya, yang menjadi korban bukanlah pasukan bersenjata, melainkan warga sipil yang tidak berdaya. Anak-anak, perempuan, dan lansia menjadi target paling rentan dari strategi ini.

Di Gaza sendiri, antrean panjang di depan gudang bantuan sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Warga rela menunggu berjam-jam dan menjadi sasaran sniper dengan harapan mendapatkan sedikit beras atau gandum. Namun sering kali mereka harus pulang dengan tangan kosong karena pasokan yang datang tidak sebanding dengan kebutuhan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan meningkatnya angka gizi buruk di Gaza, terutama pada balita. Kekurangan asupan protein dan vitamin membuat banyak anak terancam mengalami gangguan pertumbuhan permanen. Sementara itu, rumah sakit di Gaza kewalahan menghadapi lonjakan pasien akibat kelaparan dan penyakit yang menyertainya.

Sikap Israel yang memonopoli bantuan ini tidak hanya menimbulkan krisis pangan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian politik. Negara-negara donor merasa ditekan karena setiap langkah mereka harus melewati mekanisme yang dikendalikan Israel. Dalam banyak kasus, bantuan yang ditawarkan negara sahabat Palestina terhambat di perbatasan berhari-hari tanpa kepastian.

Di balik layar, Israel disebut menggunakan kondisi ini sebagai alat diplomasi. Dengan mengatur keluar masuknya bantuan, Israel dapat memengaruhi sikap politik negara-negara donor. Negara yang patuh akan lebih mudah mengirimkan bantuan, sementara negara yang vokal mengkritik Israel sering menghadapi hambatan tambahan.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana Israel tidak hanya menguasai aspek militer, tetapi juga menguasai aspek logistik dan kemanusiaan di Gaza. Dengan kontrol penuh atas perbatasan, Israel dapat menentukan siapa yang boleh hidup dengan layak dan siapa yang harus bertahan dalam kelaparan.

Kritik keras datang dari berbagai organisasi HAM yang menilai tindakan Israel sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Konvensi Jenewa jelas melarang penggunaan kelaparan sebagai senjata perang. Namun, implementasi hukum internasional tampaknya mandek ketika menyangkut Israel.

Sejumlah analis menilai bahwa praktik ini juga menjadi bentuk pemerasan terhadap dunia internasional. Dengan menciptakan kelangkaan, Israel seakan menuntut agar komunitas global terus menggelontorkan dana lebih besar hanya untuk memastikan bantuan bisa sampai ke Gaza. Hal ini membuat krisis kemanusiaan berubah menjadi arena bisnis dan politik yang penuh perhitungan.

Warga Gaza sendiri kini hidup dalam bayang-bayang kelaparan. Banyak keluarga hanya bisa makan sekali sehari, sementara sisanya harus menahan lapar. Bagi mereka, kelaparan bukan sekadar ancaman, melainkan kenyataan sehari-hari yang terus membayangi.

Media lokal di Gaza berkali-kali menayangkan kesaksian warga yang harus menjual barang berharga terakhir mereka demi membeli sekarung tepung. Harga bahan makanan yang melonjak membuat banyak keluarga jatuh ke jurang kemiskinan lebih dalam.

Sementara itu, negara-negara Arab terus mendesak agar jalur bantuan dibuka tanpa syarat. Namun, setiap kali tekanan diplomatik muncul, Israel tetap bertahan dengan alasan keamanan. Dalih ini dipakai berulang kali untuk membenarkan pemeriksaan berlapis terhadap setiap truk bantuan.

Krisis ini memperlihatkan bahwa kelaparan kini bukan lagi sekadar akibat perang, tetapi menjadi instrumen yang dikelola dengan sengaja. Israel berhasil mengubah bantuan kemanusiaan menjadi bisnis cari cuan dan sekaligus menjadi senjata politik yang mematikan.

Pertanyaannya kini, sampai kapan dunia akan membiarkan warga Gaza dijadikan pion dalam permainan kelaparan ini. Selama kontrol penuh masih berada di tangan Israel, krisis kemanusiaan di Gaza tampaknya akan terus berlanjut tanpa ujung.

Pada akhirnya, weaponisasi kelaparan di Gaza menunjukkan wajah lain dari konflik yang tidak kalah mematikan dibanding serangan bersenjata. Bukan peluru atau bom, tetapi kelaparan yang dijadikan alat untuk menundukkan manusia. Dan di tengah penderitaan itu, dunia ditantang untuk memilih: membiarkan atau melawan praktik yang jelas-jelas melanggar kemanusiaan.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Israel Jadikan Kelaparan Gaza Sebagai Senjata Genosida dan Peras Negara Pemberi Bantuan"

Post a Comment