Provinsi Suwaida kembali menjadi sorotan setelah muncul kabar resmi mengenai penyusunan ulang struktur kepemimpinan keamanan dalam negeri. Suleiman Abdul Baqi ditunjuk sebagai Direktur Direktorat Keamanan untuk wilayah Kota Suwaida. Penunjukan ini secara tegas disebut tidak menggantikan posisi Hossam Tahan, yang masih menjabat sebagai Kepala Keamanan Dalam Negeri Suwaida secara keseluruhan. Namun di balik penjelasan resmi itu, muncul spekulasi bahwa langkah ini memiliki agenda politik yang lebih luas.
Suwaida dalam beberapa bulan terakhir dikenal sebagai wilayah yang memiliki dinamika keamanan berbeda dibanding provinsi lain di Suriah, khususnya saat munculnya para milisi separatisme Druze Al Hajri pro Israel.
Dominasi kelompok Druze dengan ikatan sosial yang kuat menjadikan wilayah ini relatif otonom dalam mengelola urusan internal. Namun, munculnya milisi lokal yang berkembang pesat menambah kompleksitas. Salah satu yang paling menonjol adalah kelompok milisi al Hajri, yang kini mencuat dengan ambisi politik yang lebih besar.
Kelompok al Hajri disebut-sebut sedang mengupayakan terbentuknya semacam “negara Jabal Druze” dengan koordinasi di belakang layar dengan proyek 'Greater Israel' yang digagas Tel Aviv dengan tujuan menegaskan hegemoni Israel di kawasan. Negara yang tak tunduk pada hegemoni ini akan menjadi sasaran pemboman, pembantaian kepada warganya dll sebagaimana dilakukan Israel di perbatasan Qunaitra, Suriah.
Dengan dukungan basis sosial di kalangan Druze serta kekuatan militer yang mereka sebut sebagai Garda Nasional, kelompok ini berusaha memperkuat legitimasi. Langkah mereka dipandang sebagian pihak sebagai ancaman langsung terhadap struktur negara Suriah. Di tengah perkembangan ini, penunjukan Abdul Baqi sebagai tokoh pro persatuan Suriah di Kota Suwaida memunculkan tafsir bahwa pemerintah ingin mempertegas kontrol.
Pemerintah Suriah tampaknya berhati-hati dalam mengatur keseimbangan. Penegasan bahwa Abdul Baqi hanya memimpin untuk kota, dan bukan menggantikan Tahan, menunjukkan adanya dualitas strategi. Di satu sisi, Kementerian Dalam Negeri Suriah tidak ingin menimbulkan konflik internal di tubuh aparat resmi. Di sisi lain, pemerintah juga berusaha membatasi ruang gerak kelompok kecil Druze yang semakin percaya diri dengan kekuatan militernya.
Langkah penunjukan ini bisa dibaca sebagai pesan bahwa pemerintah pusat di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa masih memegang kendali administratif di Suwaida. Penempatan figur baru di tingkat kota dapat memperkuat struktur resmi tanpa harus langsung menantang pengaruh lokal yang cukup besar. Namun, keputusan ini justru menimbulkan kecurigaan bahwa sedang ada upaya untuk mengimbangi milisi separatis yang semakin radikal.
Suwaida memang memiliki sejarah panjang dengan milisi lokal. Dalam kekosongan kontrol negara di masa perang, berbagai kelompok lahir untuk mengisi celah keamanan. Usai rejim Bashar Al Assad lengser, para barisan sakit hati mendirikan milisi Al Hajri untuk menentang Damaskus dengan dukungan Israel. Kebanyakan tokoh barisan sakit hati itu adalah eks tentara rejim yang terkenal sebagai bandar narkoba dan tindak kriminal lainnya.
Kini, ketika situasi berangsur stabil, pemerintah berusaha mengembalikan tatanan resmi. Namun, kondisi itu tidak bisa dipisahkan dari realitas bahwa sebagian masyarakat sudah lebih mempercayai struktur milisi separatisme dibanding institusi negara.
Milisi al Hajri dengan Garda Nasionalnya menawarkan narasi yang menarik bagi sebagian kalangan Druze. Mereka mengedepankan identitas komunitas dan janji untuk melindungi wilayah dari ancaman luar. Dalam konteks inilah, kehadiran Abdul Baqi bisa dianggap sebagai tandingan politik dan simbol bahwa rezim tidak membiarkan milisi memonopoli realitas.
Spekulasi mengenai pembentukan negara Druze versi al Hajri menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Bagi Damaskus, hal itu jelas tidak bisa diterima karena akan mengancam keutuhan Suriah. Bagi kelompok Druze yang moderat, langkah itu juga bisa memicu konflik horizontal dengan tetangga Arab dan bahkan dengan sesama Druze yang tidak sepakat.
Dengan demikian, penunjukan Abdul Baqi berpotensi menjadi bagian dari strategi “check and balance” yang dijalankan rezim. Pemerintah tidak secara langsung membenturkan diri dengan al Hajri, tetapi menegaskan struktur formal di kota. Seolah ada pesan bahwa apa pun wacana yang berkembang, Suwaida tetap berada dalam kerangka administratif Suriah.
Namun, di lapangan, dinamika tidak sesederhana itu. Garda Nasional al Hajri semakin menguat dalam hal rekrutmen dan penguasaan senjata. Dengan sokongan finansial dari jaringan diaspora Druze di luar negeri, khususnya dari Druze Israel, kelompok ini mampu membiayai operasi militernya. Situasi ini tentu menambah beban pemerintah dalam mengendalikan wilayah.
Ada pula dimensi regional yang memperumit keadaan. Negara-negara di sekitar Suriah, termasuk Israel dan Yordania, memiliki kepentingan tersendiri terhadap komunitas Druze. Dukungan atau sekadar simpati terhadap proyek negara Jabak Druze bisa saja muncul, yang tentu menambah sensitivitas. Oleh karena itu, langkah Damaskus harus dihitung cermat agar tidak menimbulkan eskalasi.
Selain itu, kehadiran Abdul Baqi hanya di tingkat kota bisa jadi dimaksudkan untuk menguji reaksi publik. Jika tidak menimbulkan gejolak, pemerintah mungkin akan memperluas langkah serupa di distrik lain di Suwaida. Strategi ini memungkinkan rezim meneguhkan posisi tanpa memicu bentrokan terbuka.
Meski demikian, risiko konfrontasi tetap ada. Garda Nasional al Hajri bisa menafsirkan kehadiran pejabat baru ini sebagai provokasi terselubung. Jika mereka merasa otoritasnya terancam, potensi benturan dengan aparat resmi bisa meningkat. Hal ini berbahaya mengingat kedua pihak memiliki basis senjata dan loyalis yang siap turun ke jalan.
Dalam skenario terburuk, langkah ini bisa mendorong konflik horizontal dengan 'Garda Nasionak' yang telah memproklamasikan negara terpisah.
Mereka bisa menggunakan alasan adanya “campur tangan Damaskus” sebagai pembenaran untuk mempercepat agenda negara Jabal Druze. Hal ini akan memperdalam fragmentasi Suriah yang sudah kompleks.
Di sisi lain, jika Abdul Baqi mampu membangun komunikasi yang baik dengan tokoh lokal, penunjukan ini bisa menjadi jalan tengah. Kota Suwaida bisa berfungsi sebagai ruang kompromi di mana struktur resmi dan milisi menemukan titik temu. Ini akan mengurangi ketegangan sekaligus menjaga keutuhan wilayah.
Bagi masyarakat biasa, yang terpenting adalah stabilitas. Mereka telah bertahun-tahun hidup dalam kondisi tidak menentu akibat konflik. Kehadiran pejabat keamanan baru mungkin tidak langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari, tetapi dinamika ini tetap mereka cermati. Suara publik bisa menjadi faktor penting dalam menentukan keberlanjutan strategi pemerintah.
Jika rezim berhasil mengelola langkah ini dengan bijak, Suwaida bisa menjadi contoh reintegrasi wilayah dengan cara bertahap. Namun, jika salah langkah, Suwaida justru bisa menjadi episentrum konflik baru yang melibatkan negara dan milisi lokal. Pertaruhan ini jelas tidak ringan bagi Damaskus.
Situasi di Suwaida menunjukkan betapa rapuhnya struktur negara di wilayah yang dihuni oleh minoritas dengan identitas kuat. Perebutan legitimasi antara aparat resmi dan milisi lokal mencerminkan tantangan besar dalam rekonstruksi Suriah pascaperang.
Pada akhirnya, penunjukan Abdul Baqi hanyalah salah satu bagian dari permainan politik yang lebih besar. Apakah langkah ini akan memperkuat persatuan nasional atau justru memicu resistensi lebih kuat, masih harus dilihat dalam beberapa bulan mendatang. Yang pasti, Suwaida kini kembali berada di persimpangan sejarah, dengan masa depan yang penuh ketidakpastian.


0 Response to "Antisipasi Separatisme Al Hajri, Suriah Rotasi Kepemimpinan Keamanan di Suwaida"
Post a Comment