Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Rehabilitasi Rumah Rusak Jadi Solusi Pengungsi Suriah


Di banyak kota Suriah, bangunan yang hancur akibat konflik masih menyisakan tembok berdiri meski retak dan rapuh. Sebagian rumah itu sebenarnya masih bisa diperbaiki, tetapi para pemiliknya belum kembali dari pengungsian. Kondisi ini menimbulkan dilema besar, karena di satu sisi ada kebutuhan mendesak untuk menampung pengungsi, sementara di sisi lain hak kepemilikan tidak boleh dilanggar.

Gagasan yang mulai dibicarakan sejumlah kalangan lokal adalah memanfaatkan rumah-rumah kosong tersebut melalui program rehabilitasi. Pemerintah daerah dianggap bisa mengambil peran, dengan melakukan perbaikan awal pada bangunan yang masih layak, lalu menyewakannya dengan harga rendah kepada pengungsi. Skema ini tidak menghapus hak kepemilikan, melainkan menghidupkan kembali aset yang terbengkalai.

Menurut wacana tersebut, pemilik rumah tetap diakui sebagai pemilik sah. Bedanya, ketika mereka kembali ke Suriah, ada mekanisme yang memungkinkan mereka mengambil alih properti dengan membayar biaya perbaikan. Pemerintah lokal bertindak hanya sebagai pengelola sementara yang menjembatani kebutuhan mendesak akan hunian.

Model seperti ini disebut bisa menjadi jalan tengah. Pengungsi yang kehilangan tempat tinggal mendapatkan atap sementara dengan harga terjangkau, sementara pemilik rumah tidak kehilangan hak mereka. Bahkan, properti yang tadinya hancur berantakan bisa kembali bernilai setelah direhabilitasi.

Dalam pengalaman internasional, skema serupa pernah dicoba. Di Bosnia pascaperang 1990-an, banyak rumah kosong ditempati oleh pengungsi internal dengan restu pemerintah lokal. Meski sempat memicu konflik hukum, mekanisme mediasi dan pengadilan khusus akhirnya dibuat untuk memastikan pemilik bisa mengklaim kembali haknya.

Di Irak pasca-2003, situasinya lebih rumit. Banyak rumah kosong ditempati tanpa izin jelas, sering kali oleh milisi atau pengungsi. Ketika pemilik kembali, perebutan properti pun marak dan sulit diselesaikan karena tidak ada dasar hukum yang kuat. Contoh ini menunjukkan pentingnya regulasi sebelum skema semacam itu dijalankan.

Rwanda pascagenosida 1994 juga memberi pelajaran. Pemerintah setempat sempat menggunakan rumah kosong untuk menampung warga, tetapi kemudian membangun desa baru agar tidak terjadi perebutan berkepanjangan. Meskipun tidak semua pemilik mendapat kompensasi biaya perbaikan, setidaknya ada jalur hukum untuk mengklaim kembali tanah dan rumah.

Sementara di Kroasia dan Kosovo, pemerintah secara formal memperbolehkan rumah kosong disewakan sementara kepada pengungsi. Ketika pemilik kembali, penyewa wajib keluar dan ada kompensasi tertentu untuk pemilik. Model ini relatif lebih stabil karena didukung kerangka hukum yang jelas.

Melihat berbagai contoh tersebut, banyak pakar menilai Suriah perlu belajar. Rehabilitasi rumah rusak bisa menjadi solusi cepat untuk pengungsi, tetapi harus dilandasi aturan transisi yang kuat. Tanpa itu, risiko konflik baru antarwarga akan muncul, terutama ketika para pemilik kembali dari luar negeri.

Di tingkat lokal, ada wacana agar kontrak sewa ditandatangani atas nama pemerintah, bukan langsung pengungsi. Dengan begitu, status kepemilikan tetap terlindungi, sementara tanggung jawab pemeliharaan dan biaya perbaikan dikelola secara transparan.

Jangka waktu tertentu juga perlu ditetapkan. Misalnya, pemilik diberi hak mengklaim kembali propertinya dalam lima tahun sejak rehabilitasi dilakukan. Jika mereka pulang lebih cepat, mereka tetap bisa mengambil alih dengan membayar biaya perbaikan yang sudah tercatat resmi.

Pengaturan semacam ini akan mengurangi ketegangan. Pengungsi merasa memiliki kepastian tempat tinggal sementara, sedangkan pemilik mendapat jaminan bahwa aset mereka tidak dirampas. Pemerintah pun bisa mengurangi tekanan sosial akibat penumpukan pengungsi di kamp-kamp darurat.

Selain itu, skema rehabilitasi bisa menghidupkan kembali ekonomi lokal. Proyek perbaikan rumah akan membuka lapangan kerja, memutar roda usaha konstruksi, serta mendorong munculnya aktivitas baru di lingkungan yang lama terbengkalai.

Namun, tantangan tetap besar. Pertama, pembiayaan perbaikan harus jelas, apakah dari dana pemerintah, lembaga internasional, atau melalui pinjaman. Kedua, harus ada badan khusus yang mengawasi agar tidak terjadi manipulasi biaya dan praktik korupsi.

Sebagian kalangan khawatir kebijakan ini bisa disalahgunakan untuk tujuan politik. Pemerintah tertentu bisa memilih siapa yang berhak menempati rumah, sementara pemilik yang dianggap tidak loyal mungkin disudutkan. Karena itu, transparansi menjadi kunci mutlak.

Organisasi internasional seperti PBB dan lembaga bantuan bisa berperan besar dalam memberi payung hukum serta mengawasi implementasi di lapangan. Kehadiran pihak ketiga yang netral bisa mengurangi kecurigaan antarwarga.

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa meski sulit, skema ini bukan mustahil. Kuncinya adalah menyeimbangkan kebutuhan mendesak pengungsi dengan perlindungan hak pemilik asli. Tanpa jaminan hukum, apa yang dimaksudkan sebagai solusi justru bisa memicu krisis baru.

Di Suriah, di mana jutaan warga masih berada di luar negeri, rumah-rumah kosong adalah realitas sehari-hari. Jika dibiarkan, bangunan itu akan semakin rusak dan menjadi beban. Tetapi jika dimanfaatkan dengan aturan yang tepat, ia bisa menjadi kunci rekonstruksi sosial.

Wacana rehabilitasi rumah rusak untuk disewakan sementara kepada pengungsi adalah ide yang lahir dari kebutuhan nyata. Sejarah di berbagai negara membuktikan bahwa keberhasilan terletak pada aturan main yang tegas, adil, dan transparan. Suriah kini dihadapkan pada pilihan untuk berani mencoba, atau membiarkan bangunan yang masih berdiri perlahan runtuh tanpa makna.

Pada akhirnya, masa depan hunian di Suriah bukan hanya soal bata dan semen, melainkan tentang rekonsiliasi antara mereka yang pulang dan mereka yang bertahan. Rumah-rumah yang diperbaiki bisa menjadi simbol awal baru, asalkan hak semua pihak dihormati dalam bingkai hukum yang jelas.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Rehabilitasi Rumah Rusak Jadi Solusi Pengungsi Suriah"

Post a Comment