Featured post

Harian Asia Raya Memberitakan Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia, 1944

ASIA - RAYA ||   Waktu: September 1944 Tempat: Tokoh: Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji...

Kabinet Trump dan Bayang Ideologi Perang Salib


Pernyataan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, bahwa tidak akan ada negara Palestina telah menimbulkan perdebatan panjang di dunia internasional. Bagi sebagian kalangan di Amerika, pernyataan itu dianggap hal biasa karena selaras dengan kebijakan domestik yang pro-Israel. Namun di luar negeri, narasi semacam ini menimbulkan kesan bahwa Washington semakin mengadopsi pola pikir ideologis yang menyerupai perang salib.

Rubio menegaskan bahwa rencana beberapa negara Eropa, termasuk Prancis, untuk mengakui Palestina sebagai negara berdaulat tidak akan berpengaruh terhadap sikap Amerika. Ia menilai langkah Israel mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat merupakan tindakan yang dapat diterima. Dalam pernyataannya, Rubio juga menyebut aneksasi bukan hal final, melainkan topik politik yang masih dinegosiasikan di Israel, namun intinya tetap menutup jalan bagi lahirnya negara Palestina.

Fakta di lapangan justru menunjukkan Palestina sudah berdiri sebagai entitas politik. Puluhan negara di dunia, termasuk mayoritas anggota PBB, telah memberikan pengakuan resmi. Dengan demikian, pernyataan Rubio yang menyebut tidak ada negara Palestina seakan menafikan realitas politik internasional. Di mata banyak pengamat, hal ini bukan sekadar diplomasi, tetapi cerminan ideologi tertentu yang kini menguat di kabinet Trump.
Keterkaitan antara kebijakan luar negeri Amerika dan ideologi agama-politik semakin jelas ketika melihat latar belakang sejumlah pejabat utama. Menteri Pertahanan Pete Hegseth, misalnya, pernah menulis buku berjudul American Crusade. Buku itu tidak hanya membicarakan politik dalam negeri, tetapi juga menekankan pandangan konservatif yang melihat Amerika sebagai benteng peradaban Barat melawan ancaman luar.

Narasi American Crusade kemudian dianggap sejalan dengan sikap keras pemerintahan Trump terhadap isu Palestina. Dengan menutup pintu terhadap kemungkinan berdirinya negara Palestina, Amerika seolah mengirim pesan bahwa ia berdiri penuh di belakang Israel, bukan hanya sebagai mitra politik, tetapi juga sebagai simbol pertempuran ideologis.

Para analis menilai penggunaan istilah perang salib tidaklah berlebihan. Sejumlah tokoh di kabinet Trump kerap menyamakan kebijakan luar negeri dengan pertarungan identitas dan nilai-nilai agama. Dukungan penuh terhadap Israel kerap dibungkus dengan bahasa moralitas, seakan konflik di Timur Tengah adalah kelanjutan dari perang panjang antara dua peradaban.

Meski demikian, ada perbedaan penting yang harus dicatat. Di ranah domestik, sikap anti-Palestina memang populer di kalangan pemilih konservatif yang menjadi basis pendukung Trump. Namun di dunia internasional, pernyataan seperti Rubio dan Hegseth justru memperdalam isolasi Amerika. Banyak negara memandang kebijakan itu bukan hanya pragmatis, tetapi sudah bersifat ideologis.
Pengakuan negara-negara lain terhadap Palestina menjadi bukti nyata bahwa dunia tidak berjalan sesuai keinginan Washington. Dari Eropa hingga Asia, semakin banyak pemerintah yang menganggap Palestina layak duduk sejajar dengan negara lain. Posisi Amerika yang menolak realitas ini membuatnya terlihat menentang arus besar diplomasi global.

Di sisi lain, kebijakan yang berbau ideologi perang salib menimbulkan pertanyaan serius tentang arah kebijakan luar negeri Amerika ke depan. Apakah Washington benar-benar masih mengedepankan pragmatisme geopolitik, atau justru terjebak dalam narasi religio-politis yang sempit? Pertanyaan ini kini semakin sering diajukan di kalangan akademisi dan diplomat.

Hubungan dekat antara Trump dan kalangan evangelis konservatif juga memperkuat persepsi tersebut. Dukungan finansial dan politik dari kelompok ini sering dianggap sebagai faktor utama di balik kebijakan pro-Israel. Tidak sedikit yang menilai bahwa langkah Rubio hanyalah bagian dari konsistensi pemerintahan yang dipengaruhi basis religius domestik.

Ironisnya, sikap keras Amerika terhadap Palestina bertolak belakang dengan fakta hukum internasional. Resolusi PBB telah berulang kali menegaskan hak rakyat Palestina atas negara merdeka. Dengan menolak kemungkinan itu, Washington seolah menempatkan dirinya di luar konsensus global.

Pernyataan Marco Rubio di Ekuador semakin menegaskan pola itu. Ia menekankan bahwa aneksasi Israel atas Tepi Barat bukan sesuatu yang salah, melainkan bagian dari diskusi politik internal Israel. Bagi para pengkritik, ini adalah bentuk pengabaian terang-terangan terhadap prinsip keadilan internasional.

Pete Hegseth, dengan gagasan American Crusade-nya, seakan menjadi representasi arah baru kebijakan pertahanan. Ia menekankan perlunya Amerika mempertahankan nilai-nilai tradisional dan menghadapi apa yang disebutnya ancaman ideologis dari luar. Jika ide ini diadopsi ke dalam kebijakan luar negeri, maka sikap keras terhadap Palestina menjadi konsekuensi logis.

Pengamat menilai kabinet Trump kini menghadirkan wajah Amerika yang lebih ideologis daripada pragmatis. Kebijakan luar negeri tidak lagi murni soal kepentingan geopolitik, tetapi juga tentang mempertahankan identitas yang mereka klaim sebagai warisan Barat. Palestina, dalam narasi ini, ditempatkan sebagai lawan ideologis, bukan sekadar pihak dalam konflik teritorial.

Konsekuensinya, diplomasi Amerika di Timur Tengah semakin sulit diterima. Bukan hanya dunia Arab, tetapi juga sekutu tradisional di Eropa mulai mempertanyakan kebijakan Washington. Penolakan atas pengakuan Palestina dipandang tidak selaras dengan prinsip keadilan dan perdamaian yang selama ini diagungkan Amerika sendiri.

Sejumlah negara bahkan menganggap langkah Amerika sebagai bagian dari polarisasi baru. Jika Washington terus menutup pintu bagi Palestina, maka Eropa, Asia, dan Afrika berpotensi membentuk blok diplomatik yang semakin jauh dari Amerika. Ini berisiko menurunkan pengaruh global yang selama ini menjadi kebanggaan Gedung Putih.

Di dalam negeri, sikap Rubio mungkin memberikan keuntungan politik jangka pendek bagi Trump. Namun secara global, langkah itu justru memperkuat kesan bahwa Amerika sedang terjebak dalam ideologi perang salib. Dunia melihat bukan lagi sekadar kebijakan pro-Israel, melainkan misi moral-politik yang merujuk pada sejarah panjang konflik peradaban.

Kritik pun datang dari berbagai kalangan internasional yang menilai bahwa Amerika sedang kehilangan arah. Dengan menolak realitas bahwa Palestina sudah diakui puluhan negara, Washington dianggap menutup mata terhadap fakta sejarah. Dunia menunggu apakah pemerintahan Trump akan terus berjalan di jalur ideologis ini atau kembali ke pragmatisme.

Bagi rakyat Palestina, pernyataan Rubio hanyalah satu bab tambahan dari sejarah panjang penolakan hak mereka. Namun pengakuan internasional yang semakin meluas menunjukkan bahwa jalan menuju kedaulatan tidak lagi bisa dibendung sepenuhnya. Amerika, dengan kabinet yang semakin ideologis, mungkin mencoba menghalangi, tetapi arus besar sejarah tampaknya bergerak ke arah lain.

Dengan perkembangan ini, pertanyaan kunci yang muncul adalah apakah Amerika akan terus menempatkan diri sebagai pengusung ideologi perang salib modern, atau menyadari bahwa dunia telah berubah. Realitas Palestina sebagai negara yang diakui banyak pihak tidak bisa dihapus hanya dengan satu pernyataan menteri.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kabinet Trump dan Bayang Ideologi Perang Salib"

Post a Comment