Perdebatan soal integrasi pasukan SDF ke dalam struktur militer resmi Damaskus kembali memanas setelah serangkaian negosiasi yang menurut pihak resmi sempat “berjalan baik” namun kemudian melambat. SDF mengusulkan model integrasi berbentuk dewan militer—pimpinan digabung, struktur internal tetap berfungsi—sementara pemerintah Suriah menuntut pembubaran organisasi tersebut dan penempatan anggota ke dalam Kementerian Pertahanan.
Dari pernyataan pejabat tinggi Damaskus tampak optimisme awal: ada kesepakatan garis besar tentang integrasi dan beberapa “khususitas” untuk wilayah Kurdi. Namun kata “khususitas” itu tidak merinci mekanisme perlindungan jangka panjang bagi struktur sipil-militer yang selama ini dibangun SDF dan PYD di kawasan timur laut. Ketiadaan detail inilah yang memicu kroscek di lapangan.
Bagi SDF, keberadaan organisasi bukan sekadar urusan militer; ia menjadi payung politik, apalagi secara ekonomi mereka menguasai 70 persen ladang migas Suriah. Model dewan militer dimaknai sebagai cara menjaga otonomi lokal sambil memberi pengakuan formal dari Damaskus. Menyerahkan seluruh struktur ke tentara pusat berarti hilangnya jaringan sipil, termasuk badan keamanan sipil Asayish.
Pemerintah Suriah, di sisi lain, menegaskan prinsip kedaulatan tunggal: hanya ada satu tentara resmi di negara. Bagi Damaskus, menerima struktur paralel akan membuka preseden politik berbahaya—kemungkinan muncul “negara dalam negara” yang melemahkan klaim kedaulatan pusat dan mendorong tuntutan otonomi lebih luas di masa depan.
Jika melihat kekuatan militer riil, SDF memiliki korps tempur terlatih dan pengalaman pertempuran yang substansial. Namun dukungan eksternal, terutama Amerika Serikat, yang selama ini menjadi payung keamanan politik dan logistik, semakin berkurang. Pelemahan patron eksternal membuat posisi tawar SDF melemah secara strategis meski tetap kuat di lapangan.
Skenario pertama yang paling realistis: kesepakatan politik bertahap. Dalam skenario ini SDF menerima integrasi formal dengan syarat jaminan administratif—misalnya otonomi administratif terbatas, institusi sipil lokal tetap berfungsi, dan perlindungan terhadap pemimpin masyarakat Kurdi. Anggota SDF direkrut ulang ke dalam unit-unit Tentara Arab Suriah dengan penempatan wilayah tertentu.
Skenario kedua, jika negosiasi runtuh, berisiko memicu gesekan bersenjata lokal. Sudah ada insiden kecil di perbatasan yang menunjukkan potensi cepatnya eskalasi. Namun eskalasi skala besar sulit bertahan lama karena kedua belah pihak menanggung biaya politik dan sosial yang besar—bagi Damaskus, konflik panjang berarti melemahkan klaim rekonsiliasi, intervensi AS dkk dan Israel bisa meningkat apalagi Kurdistan Irak sudah menyatakan akan ikut bela SD jika konflik; bagi SDF, gempuran berarti kehilangan basis sosial yang dibangun selama bertahun-tahun, meski ada peluang menjatuhkan pemerintahan Presiden Al Sharaa jika kelompok Druze dan Alawite bergerak bersama.
Faktor eksternal menjadi variabel penentu. Jika AS atau mitra internasional kembali meningkatkan dukungan politik atau jaminan keamanan bagi SDF, bargaining power SDF membaik. Sebaliknya, normalisasi hubungan antara Damaskus dengan aktor regional utama—Rusia dan Turki dalam konfigurasi tertentu—dapat memperkuat posisi pemerintah dalam menuntut pembubaran struktur paralel.
Rusia, yang memiliki pengaruh kuat di meja negosiasi, cenderung mendorong solusi yang menjaga stabilitas pusat, karena memiliki pangkalan militer di Latakia dan Tartus yang menjadi wilayah Damaskus dan pangkalan udara di Qamishli yang dikuasai SDF. Moskow biasanya memilih integrasi yang menegaskan kedaulatan Damaskus sambil mengamankan hak-hak minoritas melalui kesepakatan administratif.
Turki memiliki sikap tegas. Ankara menentang keberadaan kekuatan Kurdi bersenjata di perbatasannya. Jika Turki menekan keras, Damaskus bisa mendapat ruang manuver untuk menekan SDF. Namun manuver Turki juga bisa memicu SDF mencari perlindungan politik lain—misalnya memperkuat jaringan lokal atau merangkul aktor internasional untuk menahan tekanan.
Dinamika internal SDF juga menentukan hasil. Jika pimpinan mampu menjaga kohesi dan menjamin bahwa unit-unit lokal tetap tunduk pada keputusan pusat SDF, mereka punya peluang menawar konsesi politik. Tetapi jika friksi internal muncul—misalnya antara militer dan elemen sipil PYD—kemampuan tawar menawar akan tergerus, memudahkan Damaskus mengupayakan pembubaran bertahap.
Strategi Damaskus kerap menggabungkan tekanan politik, tawar-menawar lokal, dan insentif ekonomi. Menawarkan posisi sipil, proyek rekonstruksi, dan integrasi ekonomi dapat menjadi umpan efektif untuk menarik komandan-komandan SDF dan meruntuhkan solidaritas organisasi dari dalam. Pendekatan ini pernah berhasil dalam rekonsiliasi di wilayah lain seperti Daraa.
Jika SDF “mengalah” pada intinya, bentuk yang paling mungkin adalah integrasi struktural: unit-unit dibekukan sebagai formasi baru dalam tentara reguler, pimpinan beberapa unit ditawari penempatan administratif, dan institusi sipil diberi peran terbatas. SDF tidak lagi sebagai entitas militer terpisah, tetapi jaringan komunitas dan partai politik tetap ada—namun dalam kapasitas yang diperbolehkan oleh Damaskus.
Konsekuensi jika Damaskus memaksakan bubar total tanpa kompensasi politik bisa berbahaya: potensi gerakan bawah tanah, munculnya kelompok gerilya, dan perlawanan sporadis yang mengganggu stabilitas kawasan timur laut. Biaya keamanan jangka menengah akan meningkat, dan investasi rekonstruksi pun bisa terhambat.
Sebaliknya, solusi terkelola—gabungan integrasi formal plus jaminan administratif—membuka jalan rekonsiliasi yang lebih luas: kembalinya pengungsi, pembukaan ruang ekonomi, dan integrasi layanan publik. Namun hal itu menuntut komitmen jangka panjang dari Damaskus untuk menepati janji-janji otonomi administratif serta pengawasan independen yang dapat menumbuhkan kepercayaan.
Peran masyarakat lokal tak boleh diabaikan. Tanpa dukungan komunitas Kurdi untuk setiap kesepakatan, implementasi akan sulit. Komitmen Damaskus perlu disertai jaminan tentang penggunaan bahasa, pendidikan, representasi politik lokal, dan pemulihan infrastruktur agar warga melihat manfaat nyata dari integrasi.
Di level hukum, pengaturan integrasi memerlukan undang-undang transisi yang jelas—ketentuan tentang status bekas pejuang, mekanisme rekruitmen, dan jaminan hak sipil. Ketiadaan payung hukum yang kuat membuka celah interpretasi yang bisa menyebabkan benturan di masa implementasi.
Secara praktis, siapa yang akan mengalah dalam waktu dekat kemungkinan besar adalah SDF dalam bentuk organisasi bersenjata yang berdiri sendiri, bukan karena kalah di medan tempur, melainkan karena runtuhnya dukungan politik eksternal dan strategi co-optation Damaskus. Namun “mengalah” di sini bukan berarti hilang; SDF dan komponen politiknya masih bisa mempertahankan pengaruh dalam bentuk lain.
Akhirnya, hasil negosiasi akan sangat bergantung pada kombinasi faktor: tekanan eksternal, kohesi internal SDF, insentif ekonomi dari Damaskus, serta jaminan hukum dan politik yang ditawarkan. Jika semua elemen itu berjalan selaras, integrasi damai bisa tercapai; jika tidak, risiko kekerasan lokal tetap mengintai.
Dalam skenario terbaik, timur laut Suriah bertransformasi menjadi wilayah yang terintegrasi secara politik, menikmati rekonstruksi dan stabilitas—sebuah hasil win-win bagi Damaskus dan komunitas Kurdi. Dalam skenario terburuk, kegagalan kesepakatan bisa memicu gelombang baru konflik lokal yang menunda pemulihan dan memperpanjang penderitaan rakyat.


0 Response to "Tarik-Ulur Integrasi SDF ke Tentara Suriah"
Post a Comment